REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI -- Jafar Alam (27 tahun) duduk di sebuah toko kelontong kecil di kamp pengungsi Rohingya, di daerah Kalindi Kunj, New Delhi, India. Seorang petugas polisi yang mengunjungi kamp, meminta Alam mengisi formulir data pribadi sebayak enam halaman. Namun Alam menolak.
“Hari ini, jika Anda tidak mau bekerja sama dengan kami, kami tidak akan bekerja sama dengan Anda besok,” kata polisi itu dilansir di Aljazirah, Senin (15/10).
Kemudian polisi itu berjalan di sekitar kamp mencari pria lain, tetapi tidak menemukan banyak. Sebab, para pria sudah menemukan pekerjaan.
Polisi itu pergi 30 menit kemudian. Ia sempat menitipkan pesan pada Alam akan kembali datang.
“Dia datang ke kamp hampir setiap hari selama seminggu dan bersikeras meminta kami mengisi formulir ini,” ujar Alam yang telah tinggal di India sejak 2012.
Alam dan teman-temannya juga bersikeras tidak akan menyerahkan formulir itu atau memberi data biometrik. Alasannya, pemerintah India akan mengirim formulir itu pada Kedutaan Myanmar, dan berakhir dengan deportasi paksa. Selama ini, pemerintah India telah meminta negara bagian untuk mengidentifikasi pengungsi Rohingya, mencatat rincian biometrik, dan melaporkannya kepada pemerintah pusat.
“(Pemerintah pusat) akan memulai tindakan melalui saluran diplomatik dengan Myanmar dan menyelesaikannya,” kata Menteri Dalam Negeri India Rajnath Singh baru-baru ini.
Pada 4 Oktober lalu, sebanyak tujuh orang Rohingya dideportasi ke Myanmar. Selama ini mereka ditangkap karena memasuki India tanpa dokumen pada 2012.
Proses deportasi terjadi beberapa jam setelah Mahkamah Agung (MA) India menolak campur tangan terhadap upaya pembelaan dengan mengizinkan mereka tetap tinggal di negara itu. Tujuh orang tersebut diangkut ke kota perbatasan Moreh untuk diserahkan pada penjaga perbatasan Myanmar.
Tindakan itu dilakukan dua hari setelah Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mendesak India untuk mendukung Bangladesh memberikan bantuan kemanusiaan pada komunitas Rohingya. Serta, turut mendesak Myanmar melakukan rekonsiliasi.
Sejak itu, ketegangan dan ketakutan mencengkeram kamp pengungsi di Kalindi Kunj, tempat 50 keluarga Rohingya telah tinggal selama beberapa tahun. Mereka takut dideportasi ke Myanmar, dan berakhir di penjara atau kamp konsentrasi.
“Setelah deportasi, mereka (tujuh orang itu) tidak dikirim kembali ke rumah, tetapi dijebloskan ke penjara lagi,” kata Alam.
Alam mengatakan komunitas Rohingya sejujurnya khawatir hal yang sama terjadi pada mereka. Diperkirakan sekitar 40 ribu orang Rohingya yang sebagian besar minoritas Muslim, tinggal di India setelah melarikan diri dari penganiayaan di Myanmar.
Pemerintah India yang dipimpin oleh partai nasionalis Hindu Bharatiya Janata (BJP) menolak memberikan status pengungsi Rohingya. Seorang menteri di Kabinet Perdana Menteri Narendra Modi mengatakan kepada parlemen India bahwa Rohingya adalah imigran gelap.
“Kami tahu, Rohingya terkait dengan kegiatan yang salah dan ilegal,” ujar Menteri Negara untuk Urusan Rumah, Kiren Rijiju.