Senin 22 Oct 2018 10:26 WIB

Yordania Akhiri Kesepakatan Sewa Tanah dengan Israel

Israel menyewa 400 hektare lahan pertanian dan sebuah daerah kecil dari Yordania.

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Nur Aini
Perbatasan Israel dan Yordania
Foto: skyscrapercity.com
Perbatasan Israel dan Yordania

REPUBLIKA.CO.ID, AMMAN - Yordania tidak akan memperbarui perjanjian sewa tanah yang telah disepakati selama 25 tahun dengan Israel di dua wilayah tanah di sepanjang perbatasan mereka. Keputusan itu diambil setelah Yordania memutuskan untuk mengembalikan kontrol wilayah itu ke Amman.

Di bawah perjanjian damai pada 1994 antara dua negara itu, Israel memperoleh status kepemilikan tanah pribadi dan hak perjalanan khusus di Baqura di bagian barat laut Yordania dan Al-Ghamr di bagian selatan. Dalam perjanjian itu, Israel menyewa sekitar 400 hektare lahan pertanian dan sebuah daerah kecil yang dikenal sebagai Island of Peace dekat Laut Galilea.

Sewa itu berakhir tahun depan dan Yordania sekarang ingin menerapkan kedaulatan penuh atas kedua wilayah tersebut. Pengumuman mengenai hal itu telah disampaikan oleh Raja Abdullah II pada Ahad (21/10).

Sebagian besar tanah di Baqura dan Ghumar digunakan oleh perwira militer dan petani Israel. Baqura, di Lembah Yordan utara, diambil alih oleh Israel pada 1950. Sementara Ghamr, dekat Aqaba di Yordania selatan, diambil alih dalam Perang Timur Tengah pada 1967.

Abdullah mengatakan dia telah memberi tahu Israel tentang keputusannya itu. "Kami akan mempraktikkan kedaulatan penuh kami di tanah kami. Prioritas kami dalam situasi regional ini adalah untuk melindungi kepentingan kami dan melakukan apa pun yang diperlukan untuk Yordania dan warganya," ujar Raja Abdullah, dikutip Arab News.

Abdullah tidak memberikan alasan terkait keputusannya, tetapi dia menghadapi tekanan domestik untuk mengakhiri sewa dan mengembalikan wilayah itu ke kontrol penuh Yordania. Pekan lalu, para demonstran yang menuntut diakhirinya kepemilikan Israel atas tanah itu berunjuk rasa di ibu kota Amman.

"Ini adalah tanah Yordania dan akan tetap menjadi milik Yordania. Dalam era kekacauan regional, Kerajaan yang berada antara Suriah di utara, Irak di timur, dan Israel di barat, ingin melindungi kepentingan nasional," jelas Abdullah.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu turut memberikan komentar setelah ia mendengar keputusan Raja Abdullah pada Ahad (21/10). Ia mengakui Yordania ingin menggunakan pilihannya untuk mengakhiri perjanjian.

Namun dia mengatakan Israel akan melakukan negosiasi untuk mengupayakan kemungkinan memperpanjang perjanjian sewa. Menurut ketentuan perjanjian damai itu, sewa akan secara otomatis diperbarui kecuali salah satu pihak memberi tahu pihak lainnya setahun sebelum berakhirnya perjanjian bahwa pihaknya ingin mengakhiri perjanjian tersebut. Hal itu disampaikan Kementerian Luar Negeri Israel dalam sebuah pernyataan pada Ahad (20/10).

"Kesepakatan ini secara keseluruhan adalah hal yang penting. Kesepakatan damai dengan Yordania dan Mesir adalah jangkar stabilitas regional," ujar Netanyahu.

Yordania adalah salah satu dari dua negara Arab yang memiliki perjanjian damai dengan Israel dan kedua negara ini memiliki sejarah panjang hubungan keamanan yang erat. Mereka juga telah memperluas hubungan ekonomi pada tahun lalu.

Namun, perjanjian damai dengan Israel tidak populer dan sentimen pro-Palestina terus meluas di Yordania. Aktivis dan politisi telah menyuarakan pembaruan yang mereka katakan hanya akan melanggengkan pendudukan Israel di wilayah Yordania.

Keputusan Raja Abdullah mendapat pujian dan disebut sebagai keputusan bersejarah oleh Marwan Muasher, mantan menteri luar negeri Yordania dan juru bicara tim negosiasi 1994. "Ini mengirimkan pesan yang kuat kepada Israel, yang secara sistematis melawan solusi dua negara dan dengan demikian ini tidak hanya untuk kepentingan nasional Palestina, tetapi juga dari Yordania," katanya kepada Arab News.

"Keputusan raja adalah gambaran langsung tentang bagaimana semua warga Yordania merasa marah tentang kebijakan Israel saat ini," tambah Muasher, yang sekarang menjabat sebagai wakil presiden Carnegie Endowment for International Peace.

Mantan wakil menteri luar negeri Israel Yossi Beilin mengatakan kepada Arab News, dia berasumsi bahwa jika negosiasi antara Israel dan Palestina adalah hal yang serius, raja ingin memastikan bahwa atmosfer positif akan terus berlanjut. Tetapi tidak ada proses perdamaian.

”Pengumuman Raja Abdullah adalah puncak dari serangkaian demonstrasi publik yang mendapatkan momentum karena batas akhir sewa sampai 25 Oktober. Menurut konstitusi kami, tidak dapat diterima tanah Yordania tidak berada di bawah kedaulatan dan kontrol negara," tutur Ketua Jordan Bar Association, Mazen Rashidat.

"Kami belum pernah melihat persatuan antara pemerintah dan orang-orang dari berbagai latar belakang yang ingin mengakhiri perjanjian sewa ke Israel," tambah pengamat politik Yordania Oraib Rantawi.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement