REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Penasihat Keamanan Nasional Amerika Serikat John Bolton akan menghadapi pertemuan yang sulit dengan Rusia. Ia akan bertemu dengan Pemerintah Rusia selama setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengancam akan mundur dari perjanjian senjata nuklir dengan Rusia.
Diprediksi Bolton akan dihujani pertanyaan tentang ancaman Trump itu. Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov memperingatkan betapa berbahayanya jika AS mundur dari Traktat Kekuatan Nuklir Jarak Menengah atau Intermediate-Range Nuclear Forces (INF). Perjajian tentang senjata nuklir di sepakati antara AS dengan Uni Soviet pada tahun 1987 saat berlangsungnya Perang Dingin.
"[Penarikan ini] tidak akan dipahami oleh masyarakat internasional, tapi malahan akan mencederai semua anggota masyarakat internasional, mereka yang berkomitmen pada keamanan dan stabilitas dan siap untuk memperkuat rezim kontrol senjata saat ini," kata Deputi Kementerian Luar Negeri Rusia, Sergei Ryabkov, kepada kantor berita Rusia, Tass yang dilansir Aljazirah, Senin (22/10).
INF melarang nuklir dan senjata misil dengan jangkauan antara 500 sampai 5.550 kilometer. Perjanjian ini ditandatangani pada era Perang Dingin antara Presiden AS saat itu Ronald Reagan dan Sekretaris Jenderal Rusia Mikhail Gorbachev.
Dalam beberapa kesempatan baik AS maupun Rusia masing-masing menuduh rekan mereka telah melanggar perjanjian tersebut. Pejabat AS yakin Rusia tengah membangun sistem misil di bawah tanah yang dapat menyerang Eropa dalam waktu singkat.
Sementara itu Rusia menuduh AS mengoperasikan sistem pertahanan misil yang bagian dari Perjanjian Organisasi Eropa Atlantik Utara. Menurut Rusia sistem pertahanan itu melanggar ketentuan di INF.
Pada Sabtu (20/10) lalu Trump mengatakan Rusia telah berkali-kali melanggar INF. Ia juga berjanji akan menarik AS dari perjanjian tersebut. Rusia berulang kali membantah tuduhan-tuduhan AS tersebut. "Kami tidak akan membiarkan mereka melanggar perjanjian nuklir dan keluar begitu saja dan membuat senjata (sementara) kami tidak diizinkan," kata Trump.
Gorbachev, presiden terakhir Uni Soviet sebelum dibubarkan pada 1991 mengritik pernyataan Trump tersebut. Sebagai orang yang telah menyelesaikan Perang Dingin, Gorbachev mengatakan pernyataan Trump tidak berasal dari pemikiran yang sehat.
"Dalam situasi apa pun kita (Rusia dan AS) tidak perlu mencabut perjanjian lama perlucutan senjata," kata Gorbachev, kepada kantor berita Interfax.
Pernyataan Gorbachev ini diamini oleh sejumlah pejabat Rusia lainnya. Kepada Bidang Luar Negeri Parlemen Rusia Konstatin Kosachev memperingatkan AS jika benar-benar mundur dari traktat ini. "Umat manusia akan menghadapi kekacauan penuh di dalam lingkungan senjata nuklir," kata Kosachev.
Beberapa pejabat negara maju lainnya juga prihatin dengan ancaman Trump tersebut. Seperti jurubicara Kementerian Luar Negeri Cina Hua Chunying. Begitu pula dengan Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Maas. "Traktat ini, sudah 30 tahun menjadi pilar penting dalam arsitektur keamanan Eropa," kata Maas.
Maas mengatakan Eropa sudah sering mendesak Rusia untuk menanggapi serius tuduhan pelanggaran INF. Kini mereka meminta AS untuk mempertimbangkan konsekuensi jika menarik diri dari perjanjian tersebut.
Sementara itu Inggris menegaskan akan tetap berada dipihak AS. Menteri Pertahanan Inggris Gavin Williamson mengatakan, Rusia menjadi pihak yang harusnya disalahkan karena membahayakan perjanjian INF.
Baca juga, Trump Cabut Pakta Nuklir Rusia, Cina: Salah Besar.
"Tentu kami ingin melihat perjanjian ini terus berlangsung tapi membutuhkan komitmen dari dua belah pihak dan pada saat ini ada satu pihak yang mengabaikannya, Rusia yang telah melanggarnya," kata Williamson.
Ancaman Trump ini pun membuat suara partai Republik di parlemen pecah. Senator Rand Paul mengatakan penarikan diri dari perjanjian ini akan menjadi sebuah kesalahan yang amat besar. Sementara rekannya senator Lindsey Graham memuji Trump yang telah mengambil tindakan yang sangat tepat karena menurutnya Rusia sudah sering mencurangi AS dalam perjanjian ini.
Terakhir kali AS keluar dari perjanjian sejata besar dengan Rusia terjadi pada tahun 2002. Ketika Presiden AS kala itu George W Bush mengabaikan Perjanjian Anti misil balistik (ABM). Perjanjian ABM melarang AS dan Rusia menerapkan sistem pertahanan anti misil balistik.