REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pengungsi terdampak bencana di Kabupaten Sigi masih membutuhkan sekitar 10 ribu hunian sementara. Bupat Sigi Muhammad Irwan Lapata menjelaskan, ada sekitar 900 huntara yang saat ini sudah dibangun di seluruh Sigi. Sementara itu, kebutuhan total huntara di Sigi mencapai sebelas ribu hunian.
Bupati menjelaskan, pembangunan huntara sudah dilakukan oleh lembaga filantropi, BUMN, hingga swasta. “Kita hitung ada sebelas ribu rumah rusak berat di Sigi,”ujar bupati usai melakukan Upacara Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober di Lapangan Dolo, Sigi, Sulawesi Tengah, Senin (29/10).
Bupati mengungkapkan, ada 46 ribu lebih kepala keluarga yang tinggal di pengungsian. Meski demikian, jumlahnya berkurang setelah tanggap darurat selesai pada Jumat (26/10) lalu. Menurut bupati, ada sebanyak 25 ribu jiwa lebih pengungsi yang berangsur-angsur kembali ke rumah masing-masing.
Irwan menjelaskan, diantara puluhan ribu pengungsi tersebut, tidak sedikit yang rumahnya hancur dan hilang akibat gempa dan likuefaksi. Terlebih, cuaca di sekitar Sigi yang sudah mulai hujan membuat mereka tidak nyaman karena harus tidur di tenda bahkan hanya di bawah terpal.
Selain masalah huntara, Pemkab Sigi juga sedang mengkaji alternatif tempat untuk relokasi warga terdampak bencana likuefaksi. Dia menjelaskan, sudah ada beberapa lokasi di Kecamatan Biromaru yang bisa dijadikan tujuan relokasi. Menurut dia, letak lokasi tersebut tak begitu jauh dengan tempat warga Petobo sebelumnya. Dia pun berharap pemerintah pusat bisa mempercepat pelepasan area yang saat ini berada di bawah kuasa Kesdam tersebut.
Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani sebelumnya menjelaskan, pemerintah sudah menyiapkan lahan seluas 320 hektare. Lahan ini akan dijadikan tempat relokasi para warga terdampak likuifaksi di Petobo dan Balaroa, Sulawesi Tengah. Jarak lahan dengan tempat tinggal warga sejauh 20 kilometer.
Langkah relokasi tersebut sesuai dengan instruksi presiden Joko Widodo. Dia meminta agar tempat-tempat yang melintasi atau dekat dengan jalur patahan harus dipindahkan. Meski demikian, Gubernur Sulteng Longki Djonggola menegaskan, relokasi akan dilakukan setelah kondisi Sulawesi Tengah sudah normal.
Kepada Republika, warga Petobo, Maryana (41 tahun) menolak untuk pindah jauh dari rumahnya semula. Ibu rumah tangga yang rumahnya sudah hilang tersebut mengungkapkan, dia sudah puluhan tahun hidup di daerah itu. Maryana pun meminta agar relokasi dilakukan tidak jauh dari tempatnya mengungsi sekarang yang dekat dengan lokasi likuefaksi. “Saya tinggal sudah puluhan tahun. Lahir disini, papa sama mama disini. Susah kalau pindah jauh,”jelas dia.