Sabtu 03 Nov 2018 06:58 WIB

KPK Panggil Kembali Nurhadi Pekan Depan

Nurhadi hendak dimintai keterangan dalam penyidikan kasus suap terkait bos Lippo.

Mantan sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi (kiri)
Foto: Republika/ Raisan Al Farisi
Mantan sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi (kiri)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil kembali mantan sekretaris Mahmakah Agung (MA) Nurhadi pada pekan depan untuk diperiksa sebagai saksi kasus suap. Nurhadi dan istrinya (Tin Zuraida) pada Senin (29/10) tidak memenuhi panggilan KPK.

Keduanya hendak dimintai keterangan dalam penyidikan kasus suap terkait dengan pengajuan peninjauan kembali (PK) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat dengan tersangka mantan petinggi Lippo Group Eddy Sindoro (ESI). "Untuk Nurhadi sendiri kemarin juga tidak hadir, memang surat yang kami sampaikan itu kembali ke KPK. Itu artinya panggilan pertama belum diterima atau ada informasi lain nanti akan telusuri lebih lanjut. Rencana minggu depan akan dipanggil Nurhadi sebagai saksi," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung KPK RI, Jakarta, Jumat (2/11).

KPK pun sebenarnya pada Jumat memanggil Tin Zuraida sebagai saksi untuk tersangka Eddy Sindoro. Namun, Tin Zuraida yang saat ini menjabat Staf Ahli Bidang Politik dan Hukum Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi itu tidak memenuhi panggilan KPK.

"Untuk Tin Zuraida pada hari Juma tidak hadir. Tadi saya cek surat sudah disampaikan sebenarnya secara patut apakah ke rumah ataupun kantor," ucap Febri.

KPK pun mengharapkan ada bantuan dan dukungan dari pihak Kemenpan RB untuk memastikan pegawainya itu bisa hadir diperiksa sebagai saksi.

Sebelumnya, tersangka Eddy Sindoro telah menyerahkan diri ke KPK pada hari Jumat (12/10) setelah April 2016 sudah tidak berada di Indonesia. KPK sudah menetapkan Eddy Sindoro sebagai tersangka sejak November 2016.

Eddy diduga memberikan hadiah atau janji kepada penyelenggara negara terkait dengan pengurusan perkara di Pengadilan Jakarta Pusat (PN Jakpus) terkait dengan permohonan bantuan pengajuan Peninjauan Kemabali di PN Jakpus.

Atas perbuatannya tersebut, Eddy Sindoro disangkakan Pasal 5 Ayat (1) Huruf a atau Pasal 5 Ayat 1 Huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20/2001 juncto Pasal 64 KUHP jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Ancaman pidana paling singkat 1 tahun dan lama 5 tahun ditambah denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 250 juta. Sudah ada dua orang yang menjalani vonis terkait dengan perkara ini, yaitu panitera panitera sekretaris PN Jakpus Eddy Nasution dan perantara suap Dody Arianto Supeno.

Doddy sudah divonis 4 tahun penjara ditambah denda Rp 150 juta subsider 3 bulan kurungan, sedangkan Edy Nasution sudah divonis 5,5 tahun penjara ditambah denda Rp 150 juta subsider 2 bulan kurungan. Dalam putusan Edy Nasution disebutkan bahwa uang 50 ribu dolar AS untuk pengurusan peninjauan kembali (PK) PT Across Asia Limited (AAL) yang diputus pailit oleh Mahkamah Agung melawan PT First Media.

Edy pun menerima uang dari salah satu kuasa hukum yang baru dari Law Firm Cakra & Co yaitu Austriadhy 50.000 dolar AS yang terbungkus dalam amplop warna cokelat. Eddy Sindoro pernah bertemu dengan mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi menanyakan kenapa berkas perkara belum dikirimkan dan Nurhadi sempat menelepon Edy Nasution untuk mempercepat pengiriman berkas perkara PK. Namun, Nurhadi mengatakan itu dalam rangka pengawasan.

Edy Nasution juga mengakui bahwa menerima 50.000 AS dari Dody. Uang tersebut ada kaitannya dengan pengurusan dengan perkara Lippo. Dalam perkembangan penanganan perkara tesebut, KPK juga telah menetapkan advokat Lucas (LCS) sebagai tersangka merintangi penyidikan dengan tersangka Eddy Sindoro.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement