REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyisir sejumlah aset yang diduga milik Bupati nonaktif Labuhanbatu Pangonal Harahap, terkait penanganan perkara dugaan suap proyek-proyek di Labuhanbatu. Sejak Jumat pekan lalu, penyidik KPK telah melakukan penyitaan terhadap sejumlah aset milik Pangonal.
"Penyitaan aset-aset ini adalah bagian dari proses penyidikan dan diharapkan nanti akan lebih memaksimalkan pengembalian aset pada masyarakat melalui mekanisme keuangan negara atau memaksimalkan asset recovery," kata Febri dalan pesan singkatnya, Ahad (4/11).
Febri menuturkan, pada Jumat (2/11) penyidik melakukan penyitan 2 bidang tanah yg berlokasi di dekat kantor Bupati, dan 1 unit tanah dan bangunan yg berdiri di atasnya pabrik Sawit. Diduga, pabrik sawit tersebut dulunya milik Pangonal dan pernah dijual kepada pada Andi Agustinus alias Andi Narogong.
Kemudian pada Sabtu (3/11) dilalukan penyitaan 2 unit ruko di Medan, yaitu: Gedung Johor Jalan Karya Jaya, Gang Pipa, Kel Gedung Johor, Kec Medan Johor, Kota Medan. KPK juga telah memasang plang penyitaan di sejumlah lokasi tersebut.
Febri melanjutkan, karena dugaan penerimaan suap terkait proyek di Labuhanbatu cukup signigikan sekitar Rp50 Milyar, yaitu sejumlah Rp46,5 Milyar dan dalam bentuk dollar Singapura atau setara sekitar Rp3 Milyar sampai saat ini. Selaon itu adapula penerimaan lain yg sedang terus diidentifikasi selama Pangonal menjabat.
"Oleh karena itu, untuk memaksimal asset recovery atau pengembalian uang pada negara, maka KPK terus akan mencari aset-aset lain yang diduga milik PH," tegasnya.
"Jika masyarakat memiliki informasi, silahkan disampaikan pada KPK. Sekali lagi kami ingatkan juga agar hati-hati membeli aset dalam harga tidak wajar yang terafiliasi dengan kasus Labuhanbatu ini," kata Febri menjelaskan.
Dalam kasus ini, KPK menetapkan Bupati Labuhanbatu Pangonal Harahap sebagai tersangka kasus dugaan suap proyek-proyek di Kabupaten Labuhanbatu, Sumatera Utara. Selain Bupati Pangonal, KPK juga menetapkan dua orang lainnya sebagai tersangka. Yakni Umar Ritonga selaku pihak swasta serta orang kepercayaan bupati dan Effendy Syahputra selaku pemilik PT Binivan Konstruksi Abadi (BKA).
Bupati Pangonal dan Umar Ritonga diduga menerima suap dari Effendy melalui beberapa perantara sebesar Rp 576 juta. Uang Rp 576 juta merupakan bagian dari pemenuhan permintaan Bupati Panganol sekitar Rp 3 milyar. Sebelumnya sekitar bulan Juli 2018 diduga telah terjadi penyerahan Cek sebesar Rp 1.5 milyar, namun tidak berhasil dicairkan.
Adapun, uang Rp 576 juta yang diberikan Effendy kepada Pangonal melalui Umar Ritonga bersumber dari pencairan dana pembayaran proyek pembangunan RSUD Rantau Prapat, Labuhanbatu.
Dalam perjalanannya, penyidik menemukan adanya dugaan penerimaan aliran dana sebesar Rp 46 miliar yang diduga diterima Pangonal dari beberapa proyek di Sumatera Utara.