REPUBLIKA.CO.ID, ADEN -- Pertempuran hebat terjadi di daerah pemukiman kota pelabuhan utama Yaman, Hudaidah, Ahad (11/11). Sejumlah staf medis di rumah sakit terbesar di kota itu memilih keluar saat pasukan Houthi berusaha mengusir pasukan yang didukung oleh koalisi pimpinan Saudi.
Penduduk mengatakan mereka melihat tujuh jasad warga sipil yang tewas dalam bentrokan di pinggiran selatan. Kedua belah pihak menggunakan mortir, senjata anti-pesawat dan senapan serbu dalam perjuangan untuk memperebutkan kota yang merupakan garis hidup bagi jutaan orang Yaman.
Koalisi telah memperbarui serangannya terhadap Hudaidah ketika sekutu Barat, termasuk Amerika Serikat (AS) menyerukan gencatan senjata untuk mendukung upaya PBB mengakhiri perang.
Perang yang berlangsung hampir empat tahun itu telah menewaskan lebih dari 10 ribu orang dan menyebabkan krisis kelaparan.
Baca juga, Saudi Disorot Soal Perang Yaman dan Pembunuhan Khashoggi.
Sumber-sumber medis di rumah sakit al-Thawra mengatakan kepada kantor berita Reuters, beberapa anggota staf dan pasien dengan kondisi baik telah meninggalkan rumah sakit. Namun masih belum diketahui berapa jumlah pasien yang tetap berada di rumah sakit itu.
"Kaum Houthi memperkuat posisi mereka di dekat rumah sakit dan itulah yang membuat orang takut," kata seorang anggota staf.
Namun juru bicara rumah sakit Khaled Attiyah mengatakan kepada Reuters bahwa dokter dan perawat melanjutkan pekerjaan mereka seperti perawatan intensif, bangsal luka bakar dan ruang gawat darurat meskipun mereka panik.
Pekan lalu, kelompok-kelompok hak asasi manusia mengatakan Houthi telah menggerebek rumah sakit 22 Mei di pinggiran timur kota itu dan mengunggah foto orang-orang bersenjata di atap. Ini membahayakan dokter dan pasien.
PBB dan kelompok bantuan telah memperingatkan bahwa serangan besar-besaran terhadap Hudaidah membuat pasokan 80 persen impor makanan dan pasokan bantuan negara itu tak bisa masuk. Akibatnya dapat memicu kelaparan di negara miskin Arab tersebut.
Puluhan pejabat senior pemerintahan Barack Obama, termasuk mantan Penasihat Keamanan Nasional Susan Rice dan mantan Direktur CIA John Brennan, meminta Presiden AS Donald Trump untuk menghentikan semua dukungan dalam perang Yaman.
Dalam panggilan telepon kepada Pangeran Mahkota Saudi Muhammad bin Salman pada Ahad, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo menegaskan kembali seruan Washington untuk penghentian perang. Ia meminta semua pihak yang bertikai merundingkan solusi damai terhadap konflik.
"Kami mendengar suara tembakan keras dan mereka menggunakan semua jenis senjata, itu mengerikan. Di pinggiran timur, helikopter membom posisi Houthi sepanjang hari," kata seorang penduduk Abdullah Mohammed.
Pasukan pro-koalisi mengambil kendal sebuah fasilitas penggilingin biji-bijian utama di selatan pelabuhan yang menampung sekitar 51 ribu ton gandum.
"Sekitar 60 peluru jatuh di dalam kompleks itu sejak bentrokan mencapai daerah itu beberapa hari lalu, tetapi gudang tempat makanan dan biji-bijian tidak tersentuh," kata Ali Reza Qureshi, wakil direktur Yaman untuk Program Pangan Dunia (WFP).
"Kami berharap produksi akan dilanjutkan dalam dua pekan mendatang karena kami mendapatkan 21 ribu ton per bulan dari pabrik-pabrik itu, kalau tidak kami harus mengimpor tepung terigu," katanya kepada Reuters.
Koalisi Saudi campur tangan dalam perang Yaman pada 2015 untuk memulihkan pemerintahan Abd Mansour Hadi yang digulingkan oleh gerakan Houthi. Houthi mengontrol daerah-daerah yang paling padat di Yaman termasuk ibu kota Sanaa.