REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebutan 'cebong' dan 'kampret' yang kerap diasosiasikan ke pendukung petahana dan oposisi mendadak populer di media sosial selama proses pilpres 2019 berlangsung. Analis Media Sosial Ismail Fahmi mengungkapkan, bahwa identitas 'cebong' ternyata lebih populer ketimbang identitas 'kampret'.
"Kalau 'kampret' dia akan manggil 'cebong', frekuensi pemanggilan 'cebong' jauh lebih besar dibanding si 'cebong' manggil 'kampret'," ujar Ismail usai menjadi pembicara dalam diskusi bertajuk 'Panas di Medsos Dingin di Kotak Suara' di Jakarta, Rabu (14/11).
Ismail dalam pemaparannya mengatakan, frekuensi pendukung Jokowi menyebut dirinya sendiri sebagai 'cebong' juga lebih besar ketimbang pendukung Prabowo menyebut dirinya sendiri 'kampret'. Hal tersebut menunjukan bahwa, warganet yang bisa disebut paling nyinyir adalah kampret.
"Karena dia sering manggil 'cebong-cebong'. Itu secara guyonan frekuensi," tuturnya.
Kendati demikian, sebutan identitas tersebut dianggap sudah lebih halus ketimbang penyebutan ideologi atau SARA tertentu. Ia menilai di satu sisi penyebutan 'cebong' dan 'kampret' ada manfaatnya untuk mengurangi ketegangan antarpendukung.
Seperti diketahui, kubu pendukung Joko Widodo (Jokowi) dikenal dengan julukan ‘cebong’, sementara kubu penyokong Prabowo Subianto dilabeli ‘kampret’. Labelisasi ini telah ada pascakemenangan Jokowi di Pilpres 2014, dan semakin terpolarisasi dan berlanjut hingga 2019.
Peneliti Saeful Mujani Research & Counsulting (SMRC) Saidiman Ahmad pernah menyebut, penggunaan istilah 'cebong' dan 'kampret' berpeluang memecah belah bangsa. Bila hal itu terjadi, menurutnya, akan sulit mengembalikan integrasi bangsa.
Saidiman mengungkapkan, labelisasi serupa 'cebong' dan 'kampret' pernah digunakan di negara Rwanda ketika perang berkecamuk. Ketika itu, musuh menganalogikan lawannya sebagai kecoak. Ia khawatir penggunaan istilah tersebut masuk kategori berbahaya bagi integrasi bangsa.
"Ketika terjadi pembelahan sosial perlu bertahun-tahun untuk balik kembali. Seperti kasus Ahok, masyarakat pecah kubunya. Padahal, masyarakat itu inginnya harmoni," katanya dalam diskusi di Jakarta pada Jumat (12/10).