REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) menyatakan, 2019 akan menjadi tahun penuh tantangan. Pasalnya, perekonomian global tumbuh tidak merata dan masih penuh ketidakpastian.
"Maka ada tiga hal yang perlu kita cermati," ujar Gubernur BI Perry Warjiyo dalam Pertemuan Tahunan BI di Jakarta, Selasa, (27/11).
Pertama, kata dia, yakni pertumbuhan ekonomi dunia yang pada 2018 diperkirakan sekitar 3,73 persen akan melandai ke 3,7 persen pada 2019. Kedua, ujar Perry, terkait kenaikan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat (AS) The Fed, nantinya diikuti oleh nominalisasi kebijakan moneter di Eropa dan sejumlah negara maju lainnya. Diprediksi, The Fed akan menaikkan suku bunganya sebanyak tiga kali lagi pada tahun depan.
"Ketiga, ketidakpastian di pasar keuangan global mendorong tingginya premi risiko investasi ke negara emerging markets," kata Perry. Ia menambahkan, perang dagang antara AS dan Tiongkok kemungkinan berlanjut hingga 2019.
Krisis ekonomi yang terjadi di Argentina serta di Turki pun menurutnya semakin memperburuk persepsi risiko di pasar keuangan global. Dengan begitu, mata uang negara pasar berkembang termasuk Indonesia ikut terpengaruh.
Meski begitu, Perry bersyukur di tengah ketidakpastian ekonomi global tersebut, stabilitas ekonomi Indonesia terjaga sekaligus terjadi momentum pertumbuhan yang berlanjut. "Itu ditopang oleh kuatnya permintaan domestik yang tumbuh 5,5 persen. Investasi juga tumbuh kuat sekitar 6,8 persen," tuturnya.
Inflasi, kata dia, terjaga pula di Kisaran 3,2 persen. "Di 2019 akan tetap terjaga sesuai target di 3,5 plus minus 1 persen dan rupiah relatif terjaga bahkan menguat," kata Perry.
Dirinya menegaskan, tahun depan kurs rupiah relatif stabil sesuai mekanisme pasar. Di akhir 2018 ini pun telah menguat di level Rp 14 ribu per dolar AS.