REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak mau ambil pusing ihwal pernyataan Gubernur nonaktif Aceh Irwandi Yusuf yang menuding adanya unsur politis dalam kasus yang menjeratnya. Diketahui, usai mendengarkan dakwaan pada Senin (26/11), Irwandi sangat yakin tidak bersalah dan kasus yang menjerat dirinya sangat berbau politis.
"Saya kira tidak perlu direspons secara serius ya tudingan tersebut," kata Kabiro Humas KPK Febri Diansyah saat dikonfirmasi, Selasa (27/11).
Febri menuturkan, sejak awal KPK sudah memastikan bahwa kasus yang menjerat Irwandi Yusuf adalah murni kasus hukum. Bahkan, ada dua perkara yang disangkakan dalam dakwaan terhadap Irwandi.
"Tentu sejumlah bukti-bukti sudah diajukan, diperiksa mulai proses penyidikkan nanti kami ajukan di persidangan," ucap.
Ia pun menyarankan agar Irwandi fokus terhadap fakta hukum yang akan dibuka di persidangan. "Kalau memang ada hal yang ingin dibantah, maka bantahlah pada proses persidangan dengan bukti yang cukup," tegas Febri.
Pada Senin (26/11), Jaksa Penuntut Umum KPK mendakwa Gubernur nonaktif Aceh, Irwandi Yusuf menerima suap dari Bupati Bener Meriah Ahmadi sebesar Rp 1,050 miliar. Suap tersebut diberikan melalui staf dan orang kepercayaan Irwandi, yakni Hendri Yuzal dan Teuku Saiful Bahri.
Irwandi diduga menerima suap dari Bupati Bener Meriah Ahmadi melalui Hendri Yuzal dan Teuku Saiful Bahri beberapa kali menerima uang tunai Rp 1,050 miliar secara bertahap yakni sebesar Rp 120 juta, Rp 440 juta, Rp 500 juta.
Menurut jaksa, uang tersebut diduga diberikan agar Irwandi mengarahkan Unit Layanan Pengadaan (ULP) Pemerintah Provinsi Aceh memberikan persetujuan terkait usulan dari Ahmadi yang mengusulkan kontraktor yang akan mengerjakan kegiatan pembangunan di Kabupaten Bener Meriah. Adapun, proyek tersebut akan menggunakan anggaran yang bersumber dari Dana Otonomi Khusus (DOK) Aceh Tahun 2018. Menurut Jaksa, DOK Aceh untuk Kabupaten Bener Meriah sebesar Rp 108 miliar.
Irwandi juga didakwa dua kali menerima gratifikasi. Untuk gratifikasi yang pertama, Irwandi diduga telah menerima gratifikasi sebesar Rp 8,7 miliar yang berhubungan dengan jabatannya selaku Gubernur Aceh dalam kurun waktu dari tanggal 8 Mei 2017 sampai dengan 2018.
Dalam kurun waktu tersebut, Irwandi menerima gratifikasi uang secara bertahap. Pertama pada November 2017 sampai dengan Mei tahun 2018, Irwandi menerima uang melalui rekening tabungan Bank Mandiri atas nama Muklis sebesar Rp 4,4 miliar. Kemudian, sekitar Oktober 2017 sampai dengan Januari tahun 2018, Irwandi menerima uang melalui Fenny Steffy Burase sebesar Rp 568 juta dari Teuku Fadhilatul Amri setelah mendapat perintah untuk melakukan transfer dari Teuku Saiful Bahri yang merupakan salah satu tim sukses Irwandi pada Pilkada Gubernur Aceh 2017.
Selain itu, menurut jaksa, sejak April 2018 hingga Juni 2018, Irwandi menerima gratifikasi melalui Nizarli yang merupakan Kepala Unit Layanan Pengadaan Provinsi Aceh. Nizarli juga merangkap sebagai Kepala Biro Pengadaan Barang dan Jasa Pemprov Aceh.
"Nizarli atas sepengetahuan terdakwa telah menerima Rp 3,7 miliar," kata Jaksa KPK.
Uang tersebut berasal dari pihak mantan tim sukses Irwandi yang akan mengikuti paket pekerjaan pengadaan barang dan jasa di Pemerintah Provinsi Aceh.
Sementara dalam dakwaan gratifikasi yang kedua, Irwandi juga diduga menerima gratifikasi bersama Izil Azhar yang merupakan orang kepercayaannya. Sampai saat ini, Azhar masih masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) karena belum menyerahkan diri ke KPK.
Bersama Azhar, pada waktu-waktu yang tidak dapat ditentukan secara pasti dari tahun 2007 sampai dengan 2012 telah menerima gratifikasi sebesar Rp 32,4 miliar yang bersumber dari dana biaya konstruksi dan operasional proyek pembangunan dermaga bongkar pada kawasan perdaganagan bebas dan pelabuhan bebas Sabang Aceh yang dibiayai APBN.
"Terdakwa tidak melaporkannya kepada KPK sampai dengan batas waktu 30 hari terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima," tutur Jaksa KPK.
Menurut Jaksa KPK, perbuatan Irwandi menerima hadiah gratifikasi dalam bentuk uang tersebut haruslah dianggap suap. Karena, berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban serta tugas terdakwa selaku Gubernur Aceh.
Irwandi usai sidang mengatakan tidak perlu mengajukan eksepsi meskipun menurutnya dakwaan terhadap dirinya salah. "Eksepsi hanya mengatur nanti. Cara penulisan dakwaan plus-minus okelah tidak perlu dieksepsi. Cara menulis dan menyampaikan betul walaupun dakwaan salah," tutur Irwandi
Dalam kesempatan tersebut Irwandi pun mengklaim tak tahu menahu ihwal gratifikasi uang yang ia dapat. Ia bahkan mengaju tak pernah memegang uang gratifikasi yang didakwakan terhadap dirinya.
"Saya tidak pernah pegang uang. Dakwaan disampaikan betul tapi isi dakwaan salah. Saya tidak pernah menerima, menyuruh dan tidak dilaporkan. Itu urusan jaksa dan uang saya terima nol. Intinya saya tidak pernah menyuruh dan diberitahukan dan tidak pernah menerima. Saya yakin tidak bersalah. Dan kasus bukan ini ada hal lain, politik," tegas Irwandi.