REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gaziantep juga berada di jalur yang sangat ideal bagi berkembangnya karya-karya kuliner terbaik. Kota ini terletak di jalan utama Jalur Sutra, yaitu jaringan jalur darat dan laut yang menghubungkan Cina dan Asia dengan Mediterania dan Eropa. Aktivitas di jalur ini telah berlangsung selama lebih dari 1.500 tahun dari abad ke-2 SM.
"Ketika orang-orang melakukan perjalanan di Jalur Sutra, mereka membawa ide, melakukan percakapan. Inilah mengapa kuliner di Gaziantep sangat kaya," kata Filiz. Selain baklava, Gaziantep juga terkenal dengan kebabnya yang terbuat dari daging, sayur, dan buah. Kota ini juga memiliki bakso dari gandum bulgur yang terkenal, daun anggur yang diisi dolma, dan banyak lagi lainnya.
Namun, di antara makanan-makanan itu, baklavalah yang jadi ikon kota ini. Tak heran, kudapan ini kemudian diajukan sebagai salah satu warisan budaya dunia versi Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO).
Di Asia Barat dan Mediterania Timur, baklava biasanya tampil sebagai hidangan penutup. Meski demikian, penampilan baklava di berbagai wilayah bisa berbeda-beda. Di Yunani, misalnya, baklava dibuat dengan tambahan walnut, bukan kacang pistachio. Ditambahkan pula kayu manis, kata Hosukolu.
Baca: Baklava, Ikon Kota Gaziantep
Lain lagi dengan orang Iran yang menambahkan kapulaga ke dalam campuran walnut dan gula, kemudian membumbui sirup mereka dengan air mawar. Orang Armenia beda lagi. Mereka menambahkan campuran kacang tanah untuk setiap tiga atau empat lapis baklava.
Namun, hanya di Gaziantep yang ditambahkan sirup panas ke baklava yang baru dipanggang. Hal inilah yang membuat baklava Gaziantep memiliki cita rasa yang sangat istimewa, ujar Hosukolu.
Sejarawan kuliner Charles Perry menjelaskan, baklava merupakan roti berlapis yang pertama kali dibuat pada abad pertengahan oleh kaum nomaden Turki di Asia Tengah. Hal ini dibuktikan dari kamus dialek Turki berjudul Diwan Lughat al-Turk.
Kamus dialek Turki yang ditulis pada abad ke-11 itu memuat ungkapan qatma yuvgha, yang diterjemahkan dalam bahasa Arab sebagai khubzmughaddan. Secara harfiah, ungkapan itu berarti roti yang dilipat. Sejumlah resep untuk membuat baklava, lanjut Perry, juga muncul di buku kuliner Persia yang ditulis pada awal abad ke-16, Karnameh dar Bab-e Tebakhi ve Son'at-e An.
Perry juga menemukan resep hidangan yang mirip baklava dalam sebuah buku kuliner Arab abad ke-13, Kitab al-Wuslah ila al-Habib. Dalam buku itu, terdapat sejumlah resep kue, di antaranya kue-kue yang digoreng renyah, kemudian diberi gula, air mawar, dan pistachio.
Hidangan mirip baklava tersebut berada di dapur Istana Topkapi, Istanbul, Turki selama abad ke-15 dan 16. Kemudian hidangan tersebut berevolusi menjadi baklava berlapis seperti yang akrab di lidah konsumen abad ke-21.