REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dokter forensik dari RSUPN Cipto Mangunkusumo mengatakan, identifikasi secara visual kepada korban bencana massal seperti bencana alam atau kecelakaan transportasi sangat tidak disarankan. Hal ini karena identifikasi jenis tersebut tidak akurat dan dapat terjadi kesalahan identifikasi.
"Identifikasi secara visual sangat tidak dianjurkan karena penampakan korban tidak ideal mungkin sudah rusak, terbakar atau membusuk," kata dr Fitri Ambar Sari SpFM MPH dalam seminar tentang Tragedi dan Penatalaksanaannya dari Sudut Pandang Ilmu Forensik di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di Salemba Jakarta, Kamis (29/11).
Karena kondisi korban yang tidak ideal, maka keakuratannya tidak dapat dipercaya disebabkan seiring waktu jenazah korban akan mengalami perubahan. Selain itu, faktor emosional keluarga korban menyebabkan metode visual tersebut tidak bisa digunakan.
Hal senada disampaikan staf medis Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal FK UI/RSCM dr Mohammad Ardhian Syaifuddin. Identifikasi visual sangat tidak disarankan karena jenazah korban bisa saja jenazah orang lain.
"Ketika jenazah dibawa pulang dan dikubur ternyata kemudian ditemukan jenazah anggota keluarga, nanti akan jadi masalah. Prinsip kita lebih baik tidak teridentifikasi dari pada salah mengidentifikasi dan ini sudah berlaku di seluruh dunia," kata spesialis ilmu forensik tersebut.
Dia mengatakan, perubahan kondisi jenazah bisa disebabkan oleh iklim lembab dan panas di Indonesia. Akibatnya, sehari saja di luar ruangan pendingin, jenazah akan mengalami pembusukan.
Menentukan identitas seseorang dalam suatu kasus bencana massal merupakan tantangan tersendiri bagi dokter spesialis forensik karena akan berimplikasi hukum misalnya terkait asuransi dan klaim dari ahli waris. Maka prinsip keakuratan sangat penting dalam proses identifikasi korban bencana massal.
Sehingga data yang dianggap paling akurat adalah data primer seperti rekam gigi, sidik jari dan DNA yang sangat memudahkan proses identifikasi korban.