Jumat 30 Nov 2018 19:54 WIB

Pakar Nilai Ada Malaadministrasi dalam Proses Pencalonan OSO

Pakar nilai KPU melakukan maladministrasi dalam proses pencalonan OSO.

Rep: Dian Erika Nugraheny/ Red: Bayu Hermawan
Gedung KPU
Foto: Tahta Aidilla/ Republika
Gedung KPU

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) dan pegiat pemilu mengungkapkan ada maladministrasi yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam proses pencalonan Oesman Sapta Odang (OSO) sebagai calon anggota DPD. Mereka menemukan fakta bahwa OSO sejak awal belum menyerahkan surat pernyataan pengunduran diri sebagai pengurus parpol.

"Jika OSO belum menyerahkan prasyarat untuk dapat masuk daftar calon sementara (DCS) berupa surat pengunduran diri dari pengurus partai politik, kenapa KPU tetap membiarkan dicantumkannya nama OSO dalam DCS ? Bukankah tidak dipenuhinya syarat dalam hukum administrasi negara membuat batal demi hukumnya sebuah tindakan. Jika demikian sedari awal OSO sudah tidak sah masuk DCS," ujar perwakilan APHTN-HAN, Bvitri Susanti, kepada wartawan di Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (30/11).

Dengan demikian, kata Bvitri, maladministrasi sudah berlangsung sedari awal pada tahap DCS. Hal ini akan berkaitan apabila KPU memasukan nama OSO dalam Daftar Calon Tetap (DCT) sebagai konsekuensi dari tindak lanjut putusan Mahkamah Agung (MA) dan PTUN.  "Ini nanti tidak saja melanggar UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melarang pengurus parpol menjadi calon anggota DPD, tetapi juga melanggar UUD 1945 yang menjadi landasan MK memutuskan segala sesuatunya.

Lebih lanjut, Bvitri menjelaskan temuan maladministrasi berdasarkan rangkaian tahapan pencalonan anggota DPD. Selain itu, dia juga merujuk kepada saat-saat dikeluarkannya putusan MK, MA dan PYUN.

Pertama, pendaftaran calon anggota DPD dibuka pada 19 April 2018. Kemudian, pada12-18 Juli 2018, merupakan masa pemenuhan syarat calon anggota DPD melalui verifikasi syarat calon dengan mencocokkan dokumen yang disediakan.

Selanjutnya, pada 23 Juli 2018, MK memutuskan bahwa calon anggota DPD yang berasal dari kepengurusan partai politik tidak dapat ikut dalam Pemilu DPD pada 2019. Namun, melalui putusan ini MK juga menyatakan agar bakal calon DPD yang telah mengikuti proses termasuk verifikasi tidak kehilangan haknya mencalonkan dengan menyerahkan surat pengunduran diri dari kepengurusan partai politik.

Pada 9 Agustus 2018, KPU mengeluarkan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 26 Tahun 2018 mengatur proses pencalonan anggota DPD berdasarkan Putusan MK dan UU Pemilu. Aturan ini pada pokoknya mensyaratkan agar bakal calon anggota DPD harus terlebih dulu mundur dari kepengurusan parpol. "Itu sebabnya jika terdapat bakal calon yang sudah dalam proses pendaftaran masih berstatus sebagai pengurus parpol maka diberi waktu untuk mengundurkan diri sebagai pengurus partai politik. Akibatnya seluruh DCS dan DCT harus bersih dari bakal calon anggota DPD yang berstatus sebagai pengurus partai politik," ungkap Bvitri.

Pada 1 September 2018, KPU mengumumkan DCS Pemilu 2019. Dalam DCS ini, nama OSO masuk dan berada pada nomor 38. Padahal. lanjut Bvitri, OSO sama sekali tidak pernah melengkapi syarat pencalonan anggota DPD yang menjadi syarat ditentukannya DCS.

"Saat itu  yang ada hanya putusan MK. Putusan MA dan PTUN baru keluar kemudian. Akibat hukumnya, KPU telah melakukan maladministrasi yang dengan sengaja membiarkan lolosnya nama calon yang tidak memenuhi syarat pencalonan (OSO)," tegas Bvitri.

Selanjutnya, pada 20 September 2018, KPU memutuskan tidak memasukkan nama OSO ke DCT. Ini disebabkan OSO tidak juga menyerahkan surat pengunduran diri.  Setelah itu, OSO mengajukan gugatan atas dicoretnya pencalonannya dari DCT. selain itu, OSO juga mengajukan uji materi atas PKPU Nomor 26 Tahun 2018.

MA memutus uji materi pada 25 November 2018. Dalam putusannya, MA menyatakan tetap memberlakukan PKPU itu sepanjang tidak berlaku surut. Putusan PTUN muncul setelahnya, yakni pada 14 November 2018.

Putusan ini membatalkan SK KPU terkait DCT. Padahal jika disimak putusan PTUN ini dapat menganggu tahapan penyelenggaraan pemilu karena sudah mulai, terutama dikarenakan mencantumkan OSO dalam DCT berkonsekuensi menganggu penomoran calon anggota DPD yang berbasis abjad.

"Apabila dilihat dari penanggalan yang ada, pada dasarnya tidak terdapat alasan KPU untuk tidak mematuhi putusan MK yang merupakan pengejawantahan dari UUD 1945. Sehingga jika KPU mengabaikan Putusan MK maka KPU dapat dinyatakan telah melanggar UUD 1945 dan Pancasila yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945 sebagai satu kesatuan, terutama sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Itu sebabnya, himbauan kami insan akademik agar kemudian KPU sama sekali tidak melakukan pelanggaran administrasi dari PKPU yang dibentuknya sendiri. KPU juga dapat dianggap melakukan mengabaikan UUD 1945, UU Pemilu dan Putusan MK ketika mencantumkan nama-nama yang tidak berhak mencalonkan," tegas Bvitri.

Pernyataan Bvitri ini sudah disampaikan secara langsung kepada Ketua KPU, Arief Budiman, pada Jumat sore. Selain Bvitri, ada 81 nama pengajar hukum tata negara yang mendatangani pernyataan itu. Naama-nama tersebut di antaranya Mahfud MD, Oce Madril, Denny Indrayana, Feri Amsari, Khoirul Fahmi dan Jimmy Usfunan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement