REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menjalani kehidupan sebagai Muslimah di Negeri Kanguru tidaklah mudah. Setelah insiden penghancuran gedung World Tra de Center (WTC) di Amerika Serikat pada 11 September (9/11) dan bom bali pertama, Muslimah menjadi sasaran fitnah dan kebencian akibat Islamofobia.
Omeima Sukkarieh, seorang peneliti kebijakan pemerintah, mengatakan, Komisi Hak Asasi Manusia dan Kesetaraan Australia (HREOC) mengadakan dialog dengan lebih dari 1.400 warga Arab dan Muslim di sekitar Australia. Mereka menggambarkan pengalaman menjadi target diskriminasi ras dan agama serta fitnah ketika itu.
Para kaum ibu yang mengimani Islam selalu mengawal anak-anaknya ke sekolah, karena khawatir buah hati mereka dilecehkan, ditertawakan, bahkan diludahi. Sedangkan, kaum lelaki yang mempunyai nama depan Muhammad bisa berbahasa Arab, dan beragama Islam, tiba-tiba kehilangan pekerjaan. Muslimah yang tampil menutup aurat pun mengalami kemalangan serupa.
Tak sampai di situ. Terkadang ada penumpang mobil yang tiba-tiba melempar sampah kepada Muslim siapa pun orangnya. Akibatnya mereka harus kembali merasakan pahitnya menjaga keimanan.
Pelecehan terhadap Islam tak hanya dalam perbuatan, tapi juga perkataan, yang disampaikan dalam diskusi dan pemberitaan media massa. Dengan seenaknya mereka menafsirkan apa itu Islam tanpa merujuk kepada sumber primer agama tersebut.
Sementara, pemerintah setempat terkesan lamban menangani persoalan sosial tadi. Mereka tidak segera membuat gerakan dan imbauan agar masyarakat saling peduli dan bersatu dalam perbedaan: menjunjung tinggi beragam ras dan keyakinan. Dalam kondisi demikian, Muslim merasa takut, terisolasi, semakin tidak percaya terhadap pemerintah, terasing, dan putus asa.