Rabu 12 Dec 2018 16:27 WIB

KPU Jelaskan Mengapa OSO Harus Mundur dari Parpol

KPU menegaskan, calon anggota DPD berasal dari calon perseorangan.

Rep: Dian Erika Nugraheny/ Red: Andri Saubani
Wakil Ketua MPR Oesman Sapta.
Foto: MPR
Wakil Ketua MPR Oesman Sapta.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Evi Novida Ginting Manik, mengatakan, surat pemberitahuan kepada Oesman Sapta Odang (OSO) tentang tindak lanjut putusan Mahkamah Agung (MA) dan PTUN sudah disampaikan pada 8 November lalu. Dalam surat tersebut KPU menjelaskan dasar sikap KPU dalam menindaklanjuti putusan dua lembaga peradilan tersebut.

"Surat yang kami sampaikan itu tentang pemberitahuan kepada Pak OSO soal tindak lanjut yang dilakukan KPU. Suratnya bernomor 1492, tanggal 8 Desember. Kami kirimkan kepada Pak OSO sebagai Ketua Umum Hanura," ujar Evi kepada wartawan di Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (12/12).

Evi lantas menjelaskan sejumlah landasan hukum yang ada dalam surat tersebut. Pertama, berdasarkan peraturan dalam UUD 1945 menyatakan bahwa calon anggota DPD berasal dari calon perorangan.

"Misalnya pasal 1 ayat 2 UUD 1945, menyatakan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Maka, penyelenggaraan pemilu sebagai sarana melakukan kedaulatan rakyat wajib sesuai dengan konstitusi UUD 1945. Kemudian pasal 22 C dan 22D UUD 1945 yang berkaitan dengan kedudukan dan peran dari DPD, juga menjadi bagian dari yang kita sampaikan," ujar Evi.

Selanjutnya, KPU juga merujuk kepada putusan MK Nomor 30 Tahun 2018 yang berkaitan dengan frasa 'pekerjaan lain'. Putusan MK tersebut menyatakan bahwa aturan dalam pasal 182 huruf i UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

"Jadi berdasarkan amanat konstitusi dan UUD 1945 kami tentu meminta kepada setiap bakal calon anggota DPD yang menjadi pengurus parpol, tanpa terkecuali ya, sebelum penetapan daftar calon tetap (DCT) harus menyampaikan surat pengunduran diri," tegas Evi.

Lebih lanjut dia menyampaikan jika berdasarkan putusan MA, syarat pencalonan anggota DPD dalam pasal 60A PKPU Nomor 26 Tahun 2018 tetap memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan berlaku umum serta tidak bertentangan dengan UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Artinya, putusan MA tidak bertentangan dengan putusan MK.

"Maka sesuai putusan PTUN yang menetapkan Pak OSO ini harus dimasukkan dalam DCT, tentu dia juga harus penuhi persyaratan sebagaimana putusan MK. Maka kami minta kepada pak OSO sebagai ketua umum Hanura, untuk melengkapi juga (syarat pencalonan berupa surat pengunduran diri) sampai dengan batas waktu tanggal 21 Desember," ungkap Evi.

Dengan demikian, KPU menegaskan jika setelah 21 Desember tidak ada surat pengunduran diri dari OSO, maka tidak ada lagi upaya yang bisa ditempuh agar dirinya masuk ke DCT Pemilu 2019. "Berdasarkan surat yang kami sampaikan kepada Pak OSO ya seperti itu," tegas Evi.

Kuasa hukum OS), Yusril Ihza Mahendra, mengatakan belum menerima surat dari KPU soal tindak lanjut putusan PTUN. Menurutnya, putusan PTUN tidak bisa diubah interpretasinya.

"Saya tidak tahu karena belum menerima suratnya. Jadi saya belum tahu apa yang terjadi," ujar Yusril saat dikonfirmasi wartawan, Selasa (11/12).

Namun, Yusril mengatakan, tidak akan mengajukan gugatan kembali atas keputusan KPU. Ia hanya meminta Bawaslu menggunakan kewenangan pengawasan pelaksanaan putusan lembaga peradilan.

"Kami sudah melayangkan surat ke Bawaslu supaya mereka menggunakan kewenangannya, antara lain dalam pelaksanaan putusan pengadilan, hal itu sudah diatur dalam undang-undang," lanjut Yusril.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement