REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal Kementerian Agama (Kemenag), Prof M Nur Kholis Setiawan berpandangan, harmoni peraturan Undang-undang (UU) Tahun 1974 tentang Perkawinan dipandang berbeda dengan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pada prinsipnya peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan satu sama lain.
Prof Nur Kholis mengatakan, ketika ada UU yang lebih dulu tidak sinkron dengan UU lain yang muncul belakangan, maka UU yang tidak selaras ditinjau ulang. Menurutnya di zaman sekarang batas minimal 16 tahun sebagai syarat perempuan untuk menikah sudah tidak relevan.
"Batas minimal 16 tahun bagi perempuan untuk menikah spirit tahun 1974 tentu sudah tidak relevan dengan situasi terkini," kata Prof Nur Kholis kepada Republika.co.id, Kamis (13/12).
Baca juga, MK: Usia Kawin Perempuan 16 Tahun Bertentangan dengan UUD
Ia menerangkan, pada tahun 1974, usia 16 tahun sudah dianggap dewasa. Sebab dalam tinjauan fikih, perempuan dianggap baligh atau dewasa ketika sudah mengalami menstruasi. Sementara, menstruasi dalam literatur fikih disebutkan sembilan tahun.
Ia menambahkan, sehingga usia 16 tahun pada masa tahun 1974 sudah dianggap memberi ruang lebar bagi batas minimal perempuan untuk bisa menikah. Karena syarat tersebut banyak masyarakat Muslim yang masih berpegang pada fikih secara letterlijk. Sekarang, masyarakat sudah sangat jauh berubah.
"Secara psikologis, perempuan usia 16 tahun di era sekarang dianggap belum dewasa karena faktor pendidikan, mereka masih usia sekolah, oleh karenanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut menurut saya sangat arif," ujarnya.
Sebelumnya, MK menyatakan usia perkawinan perempuan 16 tahun yang termuat dalam Pasal 7 Ayat 1 Undang-Undang (UU) Perkawinan bertentangan dengan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UUD 1945. Maka MK memerintahkan DPR RI untuk merevisi UU Perkawinan dalam waktu tiga tahun.