REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Nihayatul Wafiroh menjelaskan pentingnya mengubah batas usia perkawinan yang termuat dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perubahan tersebut sangat penting untuk menghapus diskriminasi, mengurangi kematian ibu dan anak, angka perceraian, hingga kekerasan seksual.
Nihayatul menjelaskan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus batas usia perkawinan 16 tahun bagi perempuan akan menghapus diskriminasi. Selama ini, UU Perkawinan menerapkan batas usia yang berbeda antara laki-laki dan perempuan.
UU Perkawinan menyatakan batas usia perkawinan untuk laki-laki, yakni 16 tahun. Perbedaan batas usia ini melahirkan diskriminasi yang berpengaruh pada akses pendidikan.
Perempuan yang dinikahkan sebelum usia 16 tahun tidak bisa menyenyam pendidikan hingga lulus sekolah menengan atas (SMA). Wakil ketua Komisi II DPR tersebut menyatakan putusan MK yang menyatakan batas usia perkawinan 16 tahun bertentangan dengan UUD 1945 akan memberikan kesempatan bagi perempuan untuk menuntaskan program wajib belajar.
Selain itu, ia mengatakan, penghapusan batas usia 16 tahun bagi perempuan untuk menikah juga dapat mengatasi persoalan kematian ibu dan anak. "Belum lagi kalau kita melihat dari sisi kesehatan, angka kematian ibu dan bayi itu, tingginya karena menikahnya masih muda," ujar Nihayatul saat dihubungi wartawan, Kamis (13/12).
Nihayatul Wafiroh (DPR RI)
Selain itu, ia menilai, menikah di usia muda menjadi penyebab tingginya angka perceraian. "Kalau dianggap standarnya perempuan hanya baligh saja bagi perempuan kan kalau dia sudah haid ya, tapi kan bukan cuma soal itu, tapi soal kemandirian, soal psikologi, apakah 16 tahun sudah bisa mandiri," kata Ninik, sapaan akrabnya.
Ninik juga mengaitkan perkawinan di bawah usia 16 tahun bagi perempuan degan kekerasan seksual. Ia menerangkan berdasarkan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang sedang dirancang oleh DPR, pemaksanaan pernikahaan juga bagian dari kekerasan.
"Itu juga bagian dari kekerasan, nah kira-kira kalau 16 tahun itu si anak itu menikah dengan kemauan sendiri atau paksaan? Itu yang mau kita kaji ulang," kata dia.
Karena itu, Ninik mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan gugatan uji materi terkait batas usia perkawinan perempuan 16 tahun. Menurutnya, putusan MK yang menghapuskan diskriminasi batas usia perkawinan anak laki-laki dan perempuan ini merupakan langkah maju dari lembaga penjaga konstitusi tertinggi tersebut.
"Ini langkah maju yang luar biasa, karena sebenernya, kami para aktivis perempuan, juga sebenarnya mengajukan ini sudah berulang kali, dan sudah berulang kali juga ditolak," ujar Nihayatul.
Selanjutnya, Nihayatul mengatakan, putusan tersebut bisa ditindaklanjuti oleh DPR. Sebab, dalam putusannya, MK memberikan waktu tiga tahun bagi DPR untuk mengakomodir putusan itu dengan merevisi Undang undang tentang Perkawinan.
Segera direvisi
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (tengah) didampingi hakim MK memimpin sidang putusan uji materi di Ruang Sidang Gedung MK, Jakarta. (ANTARA)
Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Sri Nurherawati mendorong DPR dan pemerintah untuk segera melakukan amandemen pasal 7 UU Perkawinan sebagaimana perintah MK. mengatakan putusan ini sangat penting untuk mengubah paradigma di masyarakat tentang perkawinan anak.
Ia mengatakan perkawinan anak merupakan bentuk diskriminasi terhadap anak. “Selain itu, membuat kondisi anak perempuan rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual, sehingga menurunkan kualitas kebahagiaan dalam mendapatkan hak-haknya sebagai anak," kata Sri kepada Republika, Kamis.
Karena itu, Sri sangat mengapresiasi para penggugat dan kuasa hukumnya. Ia menilai penggugat berjuang gigih untuk mendapatkan kepastian hukum bahwa pasal 7 ayat 1 UU Perkawinan terhadap UUD 1945.
Ketua Komisi VIII DPR RI Ali Taher Parasong. (DPR RI)
Ketua Komisi VIII DPR Ali Taher Parasong mengatakan pembahasan revisi UU Perkawinan bisa dilakukan tanpa menunggu DPR RI periode berikutnya. “Sekarang sudah bisa, menjadi bahan legislasi nasional untuk mengagendakan pembahasan,” kata dia, Kamis.
Ia mengatakan batas waktu yang diberikan oleh MK memang membuka peluang pembahasan revisi UU Perkawinan dibas oleh DPR RI periode mendatang. Akan tetapi, ia menyatakan, DPR hanya tinggal menjalankan putusan MK, tanpa harus menerjemahkannya.
Karena itu, ia optimistis, pembahasan revisi UU Perkawinan tidak bakal alot. “Begitu MK memberi putusan resmi ke DPR kemudian pimpinan DPR akan menugaskan kepada baleg (Badan Legislasi DPR) dan seterusnya untuk membicarakan lebih detil mengenai tata cara perubahan UU sebagaimana mestinya,” kata dia.
Terkait substansi, DPR bisa melakukan keserasian berdasarkan usulan dan saran dari berbagai pihak. Pembahasan ini termasuk sinkronisasi batasan usia anak berdasarkan aturan perundangan lain seperti UU perkawinan dan UU perlindungan anak.
“Itu kan bervariasi, ada yang 16 tahun, ada yang 17 tahun, ada 18 Tahun dan seterusnya, bahkan perdata itu 21 tahun,” kata dia.
Selain pertimbangan yuridis, ia mengatakan, hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam penentuan batas usia perkawinan, yakni sosiologis dan filosofis. Ia mengatakan hal itu akan memudahkan merumuskan batas usia perkawinan bagi perempuan.
Sebelumnya, MK mengabulkan sebagian gugatan tiga ibu rumah tangga yakni Endang Wasrinah, Maryanti, dan Rasminah. Para perempuan yang dinikahkan sebelum berusia 16 tahun ini meminta MK membatalkan Pasal 7 ayat 1 UU 1/1974 tentang perkawinan.
Dalam putusannya, MK juga menyatakan, aturan 16 tahun usia perkawinan perempuan tersebut masih tetap berlaku sampai pembuat Undang-Undang melakukan perubahan. Tenggat yang ditetapkan oleh MK untuk melakukan perubahan batas minimal usia perkawinan bagi perempuan, yakni tiga tahun.