REPUBLIKA.CO.ID, Erik Purnama Putra/Wartawan Republika
Jatuhnya pesawat Lion Air JT 610 rute Jakarta-Pangkalpinang di perairan Karawang, Jawa Barat, Senin (29/10) pagi WIB, seolah membuka 'kotak pandora' tentang perlindungan perusahaan terhadap pegawainya. Hal itu diketahui setelah pilot Bhavye Suneja (31 tahun), yang berkebangsaan India ternyata hanya digaji Rp 3,7 juta per bulan. Fakta itu terbongkar setelah Dirut Utama Badan Perlindungan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS TK), Agus Susanto mengungkapkannya saat mengunjungi korban pesawat jatuh di Rumah Sakit Polri Kramat Jati, Jakarta Timur, Rabu (31/10).
Pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Airlangga (Unair), Hadi Subhan menyatakan, ada praktik ketidakjujuran yang dilakukan perusahaan dalam melaporkan gaji pilot yang nomimalnya jauh lebih kecil daripada sebenarnya. Hadi menilai, langkah yang dilakukan Lion Air itu bertujuan agar perusahaan mengeluarkan dana lebih sedikit untuk iuran BPJS TK.
Memang implikasinya pengeluaran perusahaan bisa jadi lebih hemat, namun hal itu jelas merupakan pelanggaran. "Dengan membayarkan jumlah gaji lebih sedikit maka akan membayar premi yang sedikit," ujar Hadi merujuk pada gaji pilot yang jauh di bawah copilot Lion Air.
Hadi pun menyarankan agar manajemen BPJS TK mengambil langkah hukum kalau memang memiliki bukti cukup terkait apa yang dilakukan Lion Air. Menurut dia, sudah sepatunya BPJS TK bertindak tegas agar masalah itu dijadikan pelajaran bersama bagi perusahaan lain untuk jujur dalam membayarkan premi para karyawannya. Karena kalau ada musibah seperti yang menimpa pilot Bhavye, sambung dia, pihak yang dirugikan adalah si pegawai dan citra perusahaan juga ikut tersorot.
"Implikasinya (Lion Air) bisa dikenakan sanksi. Ada sanksi pidananya dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS. Pidananya ada di Pasal 55 juncto Pasal 19 Ayat (2). BPJS bisa saja melaporkan perusahaan yang melanggar ke aparat, bisa ke Polri atau Kejaksaan Agung," kata Hadi kepada Republika, Rabu (26/12).
Kalau gaji pilot Bhavye yang dilaporkan Lion Air kepada BPJS TK hanya sebesar Rp 3,7 juta maka copilot Harvino jauh lebih besar, yaitu sekitar Rp 20 juta per bulan. Adapun gaji pramugari yang dilaporkan sebesar Rp 3,6 juta per bulan. "Terkait mengapa gaji pilot yang didaftarkan hanya segitu, silakan ditanya lebih lanjut ke pihak perusahaan," ujar Agus.
Agus perlu membeberkan masalah yang menimpa pilot Lion Air, lantaran terkait dengan santunan yang diberikan BPJS TK kepada para pegawai Lion Air yang ikut menjadi korban dalam insiden tersebut. Meski terkesan janggal, Agus meminta gaji copilot yang berkali-kali lipat dibandingkan pilot untuk dikonfirmasi kepada manajemen Lion Air.
Presiden Direktur Lion Air Edward Sirait sempat membantah kalau gaji pilot di perusahaannya hanya dibayar di kisaran Rp 3 jutaan per bulan. Dia menduga, memang ada perbedaan laporan yang diberikan perusahaan kepada BPJS Ketenagakerjaan, meski tak secara detail dijelaskan mengapa hal itu terjadi. "Itu dulu kita melaporkan mereka ikut BPJS sebagai tenaga kerja asing. Itu bukan penghasilan mereka," kata Edward.
Dikonfirmasi ulang apakah masalah gaji pegawai yang dilaporkan kepada BPJS Ketenagakerjaan sudah dicarikan solusinya, pihak Lion Air kepada Republika, Rabu (26/12), belum bisa memberikan keterangan secara tegas. Corporate Communication Strategic Lion Air Danang Mandala Prihantoro mengatakan, persoalan tersebut perlu didalami lagi.
Pasalnya, ada divisi tertentu yang bertugas mengurusi perlindungan pegawai di Lion Air. "Saya belum bisa memberikan keterangan, saya perlu cek dahulu karena di dalam sini kan ada beberapa pihak. Nanti kalau ada perkembangan, saya infokan lagi mengenai hal itu," kata Danang.
Pegawai dirugikan
Direktur Kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan, E Ilyas Lubis menuturkan, perusahaan memiliki tanggung jawab untuk memastikan seluruh pegawainya mendapatkan perlindungan jaminan sosial ketenagakerjaan. Sementara karyawan juga wajib menyadari hak mereka untuk mendapatkan fasilitas tersebut. Hal itu lantaran tidak sedikit ditemukan perusahaan yang melakukan pendaftaran sebagian, sehingga hak pekerja tidak dapat diberikan sepenuhnya oleh pemberi kerja.
Ilyas menegaskan, pihaknya selalu berupaya memberikan edukasi dan informasi kepada pengusaha dan pekerja terkait kondisi Perusahaan Daftar Sebagian (PDS). "Ada tiga jenis status PDS yang kerap terjadi, yaitu PDS Tenaga Kerja, PDS Upah, dan PDS Program," jelas Ilyas.
PDS Tenaga Kerja adalah kategori perusahaan yang hanya mendaftarkan sebagian karyawan yang bekerja di bidang usahanya. Untuk kategori PDS Upah, perusahaan telah mendaftarkan seluruh pekerjanya dalam program perlindungan, namun data upah yang dilaporkan lebih rendah daripada yang seharusnya. Kategori terakhir adalah PDS Program, di mana perusahaan mendaftarkan seluruh pekerja dan telah sesuai memberikan data upah karyawannya. Hanya saja, perusahaan hanya ikut pada dua program perlindungan dari empat program wajib yang ada.
Menurut dia, PDS Program dan PDS Upah menjadi pelanggaran yang paling lazim dilakukan perusahaan, bahkan untuk perusahaan kategori menengah besar. Kondisi itu sering terjadi lantaran pihak BPJS TK tidak mengetahui secara pasti berapa jumlah upah yang diterima pekerja.
Ilyas mengatakan, pelaporan dari pekerja lah yang dapat membantu BPJS TK untuk mendapatkan informasi data upah yang akurat. Melalui aplikasi BPJSTKU, pekerja dapat melaporkan kepada kami jika ada ketidaksesuaian data upah, ataupun jumlah tenaga kerja. "Peserta tidak perlu khawatir, kerahasiaan data Anda kami jamin," kata Ilyas.
Dia menuturkan, konsekuensi dari pelaporan data upah yang salah berakibat pada berkurangnya manfaat yang akan diterima oleh peserta. Antara lain, manfaat Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), dan Jaminan Pensiun (JP). Dampak yang signifikan terlihat pada profesi yang memiliki risiko tinggi, seperti pekerja tambang hingga profesi penerbang.
Ketidaksesuaian data upah maupun tenaga kerja berdampak pada besaran manfaat yang akan diterima jika yang bersangkutan mengalami risiko pekerjaan. Misalnya saja, upah yang terdiri gaji pokok plus tunjangan tetap karyawan sebesar Rp 100 juta, sedangkan yang dilaporkan kepada BPJS Ketenagakerjaan sebesar Rp 3,7 juta. Akibat yang timbul pada saat pekerja mengalami risiko kerja yang mengakibatkan meninggal dunia adalah terdapatnya kekurangan manfaat yang diterima oleh ahli waris.
Untuk santunan meninggal dunia JKK kalau gaji sebenarnya Rp 100 juta maka dikali 48 bulan upah sama dengan menerim Rp 4,8 miliar. Sedangkan kalau yang dilaporkan hanya Rp 3,7 juta dikali 48 bulan upah maka yang diterima hanya Rp 177,6 juta. "Selisih manfaat yang diterima sebesar Rp 4,8 miliar dikurangi Rp 177,6 juta sama dengan beda Rp 4,622 miliar," ujar Ilyas.
Ilyas menambahkan jika perusahaan berstatus PDS, sudah menjadi kewajiban perusahaan untuk menanggung semua selisih yang timbul. Dengan mendaftarkan perusahaan dan pekerjanya dalam program tersebut, itu artinya perusahaan sudah mengalihkan tanggung jawabnya kepada BPJS TK jika terjadi risiko pekerjaan.
"Jadi jika data yang dilaporkan tidak sesuai, peserta bisa menuntut perusahaan atau pemberi kerja. Hal ini sesuai dengan regulasi yang ada," kata Ilyas.