REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mimbar sudah digunakan sejak zaman Nabi Muhammad ketika berpidato, tapi dalam bentuk yang sangat sederhana. Mimbar kemudian juga digunakan untuk tempat duduk para hakim ketika mengadili.
Pada masa berikutnya, para penguasa Islam mempergunakan mimbar untuk simbol kekuasaan dan menempat kannya mengikuti masa Nabi, yaitu di setiap masjid jami atau masjid raya. Sehingga, sultan atau pejabat pemerintah bisa memakainya untuk berbicara kepada rakyat ketika shalat Jumat.
Awalnya, ketika Nabi berkhotbah hanya bersandar pada batang pohon kurma yang diletakkan dekat mihrab di masjid Nabawi di Madinah. Pada 8 H, ketika jumlah pengikut Islam semakin banyak, mulai timbul kesulitan dari jamaah yang semakin membeludak untuk mendengarkan khot bah Nabi sehingga diusul kan untuk membuat mimbar.
Bentuk mimbar Nabi semula hanya dari kayu sederhana yang tingginya tiga undakan kecil. Ketika berkhotbah, Nabi biasanya duduk di undakan paling atas dan kakinya pada undakan kedua. Peng ganti nya, Abu Bakar yang tak ingin melebihi Nabi, memilih duduk di undakan nomor dua dan kakinya diletakkan pada undakan paling bawah.
Giliran Khalifah Umar ibn Khattab yang tak mau melebihi Abu Bakar memilih duduk di undakan paling bawah dan kakinya menjejak tanah. Kebiasaan ini diteruskan selama enam tahun oleh Khalifah Usman ibn Affan. Namun, kemudian Usman balik lagi ke kebiasaan Nabi, yaitu berkhotbah dengan duduk di undakan paling atas.
Sejak saat itu, mimbar kemudian dibuat dengan ukur an lebih besar. Undakan berubah menjadi tangga panjang, bahkan kadang dihiasi dengan gapura di dasarnya. Bahkan, gapura mimbar ada juga yang diberi pintu.
Kursi di atas mimbar juga tak luput dari hiasan. Di Mesir, Palestina, dan Iran, mimbar kadang diberi kanopi dari kayu. Aturan penggunaan mimbar pun bervariasi dari satu tempat ke tempat lain. Di beberapa daerah, ada keyakinan bahwa satu kota tidak layak untuk mempunyai lebih dari satu mimbar yang diletakkan di masjid jami. Lainnya, merasa bahwa tidak apa-apa satu kota mempunyai lebih dari satu mimbar.
Sudah menjadi kebiasaan penduduk di wilayah Maghrib (Afrika Utara dan Andalusia) untuk menyimpan mimbar di sebuah ruangan kecil yang di bangun di dalam dinding masjid di sebelah mihrab.
Karena mimbar sangat berat, maka mimbar Maghribi biasanya di lengkapi dengan roda sehingga bisa dengan mudah dido rong keluar dari tempat pe nyim panan. Rel dari kayu bia sanya juga diletakkan di atas karpet masjid untuk mempermudah mendorong mimbar itu.