Oleh: Lukman Hakiem, Peminat Sejarah, mantan Staf M Natsir dan Staf Ahli Wapres Hamzah Haz.
DALAM sidang Panitia Persiapan Kemertdekaan Indonesia (PPKI), 19 Agustus 1945, dengan acara “Pembentukan Kementerian/Departemen”, telah muncul perdebatan mengenai perlu atau tidaknya dibentuk Kementerian Agama.
Panitia Kecil PPKI yang terdiri atas Oto Iskandardinata, Achmad Soebardjo, Sajoeti, Iwa Kusumasumantri, Wiranatakusuma, Amir, Hamidhan, Ratulangi, dan I Ketut Pudja; mengusulkan agar dibentuk 13 Kementerian, yaitu;
Kementerian Dalam Negeri termasuk juga Polisi; Kementerian Luar Negeri; Kementerian Kehakiman termasuk juga Kejaksaan dan Urusan Wakaf; Kementerian Keuangan; Kementerian Kemakmuran termasuk juga Urusan Makanan Rakyat; Kementerian Kesehatan termasuk Urusan Keolahragaan; Kementerian Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan; Kementerian Kesejahteraan terbagi atas Perburuhan, Perawatan Fakir Miskin dan Anak Yatim Piatu, Zakat Fitrah; Kementerian Pertahanan terbagi atas Angkatan Laut, Angkatan Darat, dan Angkatan Udara; Kementerian Penerangan terbagi atas Propaganda, Radio, Film, dan Press; Kementerian Perhubungan (Lalu Lintas, Verkeer) terbagi atas: Pos, Telegraf, Telepon, Transport, Pekerjaan Umum, dan Pengairan; Kementerian Urusan Agama dan Menteri Negara (Minister Zonder Portefeuile).
Para Penentang Kementerian Agama
PADA rapat PPKI pada 19 Agustus 1945, usul pembentukan Kementerian Urusan Agama yang diajukan oleh Panitia Kecil ditolak oleh anggota PPKI, Mr. Johannes Latuharhary. Menurutnya, jika diadakan Kementerian Urusan Agama dia yakin nanti bisa ada perasaan-perasaan yang tersinggung atau yang tidak senang. Umpamanya saja, jikalau menterinya seorang Kristen, sudah tentu kaum Muslim tidak senang perasaannya, dan sebaliknya.
“Kita tidak perlu membangkitkan perasaan-perasaan yang menimbulkan kecideraan antara bangsa kita. Oleh sebab itu saya usulkan supaya urusan agama dimasukkan dalam urusan pendidikan. Dengan jalan demikian tidak ada perpecahan dan juga onkosten vermindering (penghematan pengeluaran),” kata Latuharhary.
Dalam rumusan berbeda, pendapat Latuharhary disokong oleh Abbas. Menurut anggota PPKI perwakilan Sumatera ini, zakat fitrah yang masuk Departemen Kesejahteraan lebih baik dimasukkan dalam urusan agama, dan juga yang lain-lain yang bersangkutan dengan agama, seperti wakaf, hendaknya dimasukkan ke dalam urusan agama. Jangan dimasukkan dalam kementerian lain.
“Dan urusan agama lebih baik dimasukkan dalam Departemen Pengajaran, Pendidikan, dan Agama,” simpul Abbas.
Pendapat untuk menghapus Departemen Agama, datang juga dari Mr. Iwa Kusumasumantri. Menurutnya, dalam tiga tahun ini urusan agama Islam dibesar-besarkan, sedangkan menurut penglihatannya, pemerintahan ini akan bercorak nasional semata-mata.
“Jadi, saya setuju pada garis besarnya, untuk menghapus Departemen Agama yang sekarang sudah mendapat burgerrecht,” kata Iwa yang juga anggota Panitia Kecil pengusul 13 kementerian.
Penolakan terhadap pembentukan Departemen Agama, juga disuarakan oleh Ki Hadjar Dewantara. Dia mengusulkan supaya urusan agama lebih baik dimasukkan ke dalam Departemen Dalam Negeri. “Sebab di situ sudah sepatutnya diadakan usaha yang istimewa,” kata Dewantara.
Ketika diadakan pemungutan suara mengenai kementerian atau departemen yang hendak dibentuk, Kementerian Urusan Agama hanya didukung oleh 6 anggota. Kementerian Urusan Agama dihapus dan urusan agama dimasukkan ke dalam Departemen Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan.
Suara dari Banyumas dan Respons Bung Karno
DITOLAKNYA pembentukan Kementerian Agama oleh PPKI, cukup menimbulkan tanda tanya, karena baik di zaman penjajahan Belanda maupun di zaman pendudukan Jepang, terdapat departemen atau kantor yang secara khusus mengurus soal-soal yang berkaitan dengan agama. Di zaman Belanda ada Departement van Onderwijs en Erediensts (Departemen Pengajaran dan Peribadatan), dan Het Kantoor voor Inlandsche Zaken. Di zaman Jepang ada Shumubu (Kantor Urusan Agama) di pusat, dan Shumuka di daerah-daerah.
Perasaan heran itu ternyata bergelayut di hati dan pikiran tiga anggota KNI dari Keresidenan Banyumas, Jawa Tengah: K.H. Abudardiri, H. Moh. Saleh Suaidy, dan M. Sukoso Wirjosaputro, ketiganya dari Partai Masyumi.
Ketika menghadiri sidang KNIP di pekan terakhir November 1945 di aula Perguruan Tinggi Kedokteran (sekarang Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia), Jalan Salemba, Jakarta; utusan KNI Banyumas itu mengusulkan “Supaya dalam negeri Indonesia yang sudah merdeka ini janganlah hendaknya urusan agama hanya disambilkan kepada Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan saja, tetapi hendaklah Kementerian Agama yang khusus dan tersendiri.”
Usul utusan KNI Banyumas itu mendapat sambutan positif dan diperkuat oleh anggota KNIP: M. Natsir, Dr. Mawardi, Dr. Marzuki Mahdi, N. Kartosudarmo, dan lain-lain. Presiden Sukarno yang hadir dalam sidang KNIP itu memberi isyarat kepada Wakil Presiden Mohammad Hatta.
Maka berdirilah Hatta dan menyatakan kepada sidang, bahwa “Adanya Kementerian Agama tersendiri, mendapat perhatian Pemerintah.”
H.M. Rasjidi: Menteri Agama yang Pertama
Kabinet Sutan Sjahrir yang dibentuk pada 14 November 1945 terdiri atas 16 kementerian, termasuk satu Kementerian Negara. Yang ditunjuk menjadi Menteri Negara ialah H.M. Rasjidi.
Pada rapat kabinet di kediaman Sutan Sjahrir, Perdana Menteri memberi tahu Rasjidi bahwa tugasnya ialah mengurusi soal peribadatan di negara RI.
Setelah hampir dua bulan menjadi Menteri Negara, Perdana Menteri Sjahrir menunjuk Rasjidi menjadi Menteri Agama. Pada 3 Januari 1946 melalui pidato di corong Radio Republik Indonesia (RRI) Yogyakarta, pemerintah mengumumkan Kementerian Agama didirikan tersendiri dengan Menteri Agama H. Rasjidi, B.A.
Pengumuman pemerintah itu disampaikan langsung oleh Rasjidi. Pada kesempatan itu Rasjidi mengumumkan bahwa sejak tanggal 3 Januari 1946, secara resmi RI memiliki Kementerian Agama. Menurut Rasjidi, umat Islam harus bergembira dan mensyukuri nikmat pembentukan Kementerian Agama ini.
“Dengan adanya Kementerian Agama,” kata Rasjidi, “maka urusan-urusan keislaman yang selama ini terbengkelai, kini dapat diurus sendiri. Pengadilan Agama, kas masjid, perjalanan haji, dan lain-lainnya lagi, bisa ditangani oleh orang Islam sendiri.”
Mengenai pembentukan Kementerian Agama dan siapa menteri yang ditunjuk untuk memimpin Kementerian itu, diulangi lagi dalam pidato Wakil Menteri Penerangan Mr. Ali Sastroamidjojo melalui RRI Yogyakarta, pada 4 Januari 1946: “Di dalam susunan Pemerintah Agung diadakan kementerian baru, ialah Kementerian Agama yang dipimpin oleh Saudara H. Rasjidi sebagai Menteri. Sebagai umum sudah mengetahui, Paduka Tuan H. Rasjidi tamat Sekolah Tinggi Islam di Kairo, Mesir, dan salah seorang pemimpin dari Partai Masyumi. Beliau adalah Guru Besar dari Sekolah Tinggi Islam di Jakarta, dan ketika Kabinet Sjahrir dibentuk, beliau diangkat menjadi Menteri Negara. Beliau adalah seorang ahli filsafat Islam yang terkenal.”
Selain mengumumkan pembentukan Kementerian Agama, Wakil Menteri Penerangan mengumumkan kepindahan buat sementara ‘sebagian dari Pemerintah Agung’ dari Jakarta ke Yogyakarta terhitung sejak 4 Januari 1946. Diumumkan juga pergantian Menteri Penerangan.
“Sebagai gantinya Menteri Penerangan Mr. Amir Sjarifuddin, diangkat Paduka Tuan Moh. Natsir anggota Partai Masyumi yang sekarang duduk sebagai anggota Badan Pekerja Komite Nasional Pusat. Beliau dahulu menjabat guru Sekolah Islam dan pemimpin Persis Bandung. Beliau dipilih sebagai anggota BP-KNI Pusat sebagai wakil dari Partai Masyumi,” kata Ali Sastroamidjojo.
Sejak pidato Rasjidi pada 1946, tanggal 3 Januari diperingati sebagai hari lahir (Hari Amal Bakti) Kementerian Agama.
Semoga seluruh aparatur Kementerian Agama di segenap jajaran, tidak pernah melupakan pesan para pendahulu: “Janganlah hendaknya urusan agama hanya disambilkan”.