REPUBLIKA.CO.ID, PYONGYANG -- Sebagian besar dari kita memiliki keinginan untuk pergi ke beberapa tempat 'yang wajib dikunjungi' seperti New York, Roma, London, di antara nama popular lainnya. Akan tetapi, tujuan menarik lainnya ada Pyongyang, ibu kota Korea Utara. Adakah yang berkeinginan mengunjungi tempat seperti ini?
Negara yang penuh rahasia ini jarang masuk dalam daftar destinasi impian banyak orang, tetapi itulah alasan mengapa negara ini begitu menarik di mata pensiunan inspektur sekolah Adelaide, Dennis Henschke.
"Mengapa, adalah pertanyaan yang banyak ditanyakan orang," kata Henschke.
"Itu karena rasa ingin tahu. Saya menikmati mengunjungi tempat-tempat yang agak terpencil."
"Saya suka melihat budaya yang berbeda dan berbagai cara melakukan hal-hal ... yang tak terduga."
Henschke, yang kini berusia 86 tahun, sering bepergian, melihat dunia dengan istrinya Kath yang meninggal pada 2017. Korea Utara adalah perjalanan luar negeri pertama yang ia lakukan setelah kematian istrinya.
Butuh 18 bulan perencanaan untuk pergi ke sana, tetapi pada September, Henschke berangkat dengan sekelompok orang Australia lainnya sebagai bagian dari tur terorganisir yang dilisensi oleh Pemerintah Korea Utara.
Henschke telah diperingatkan oleh agen wisata untuk memperkirakan adanya pemeriksaan lengkap. Para pejabat Korea Utara kemungkinan akan melarangnya untuk membawa jenis kameranya yang khusus.
Kejutan pertama datang ketika melintasi perbatasan antara Cina dan Korea Utara, ketika tidak ada yang terjadi.
"Mereka tak memeriksa kamera kami, mereka juga tidak memeriksanya di jalan keluar," kata Henschke.
"Mereka bahkan tidak mengambil formulir panjang yang mereka wajibkan kami isi di kereta di perbatasan."
"Ketika para penjaga datang, mereka benar-benar hanya tertarik apakah kami membawa Alkitab atau tidak ... saya kira Pemerintah tidak menginginkan pandangan alternatif tentang siapa otoritas tertingginya."
Memotret keseharian di Korut
Diperbolehkan membawa kameranya berarti Henschke kembali ke Australia dengan sebuah potret, menunjukkan kehidupan sehari-hari ibu kota Korea Utara dan pedesaan di sekitarnya.
Bagi pakar Korea Utara dari La Trobe University, Euan Graham, hal itu menawarkan wawasan yang menarik karena Pemerintah Korea Utara terkenal atas kontrolnya yang ketat pada informasi.
"Sudah 10 tahun sejak saya berada di Korea Utara sehingga gambaran tentang Pyongyang di permukaan tampak berubah," kata Dr Graham.
"Ada lebih banyak bangunan tinggi, lebih banyak warna, dulunya bernuansa abu-abu ... yang saya dapatkan adalah bahwa Korea Utara semakin memiliki rasa dan penampilan sebagai ibukota Asia biasa."
Namun, Dr Graham mengatakan Pyongyang hanya memiliki nuansa dan penampilan itu untuk beberapa warga Korea Utara tertentu.
"Itu adalah ibu kota tontonan, ibu kota jadi-jadian," kata Dr Graham.
"Jadi banyak sumber daya yang disalurkan ke seluruh wilayah negara terkonsentrasi di sana. Di situlah para elit tinggal. Orang Korea Utara biasa tak bisa memilih untuk tinggal di Pyongyang."
Kesenjangan antara daerah pedesaan dan ibuk ota sangat mencolok.
"Ada bermil-mil sawah dipanen oleh orang-orang dengan sabit di tangan mereka," kata Henschke.
"Saya pikir kami melihat tiga traktor ... sebagian besar pekerjaan dilakukan dengan gerobak sapi ... ada sangat sedikit bukti kehadiran listrik."
Propaganda dalam bentuk seni
Henschke menghabiskan 10 hari melihat situs yang disetujui pemerintah seperti tempat kelahiran Kim Il-sung, pendiri Korea Utara dan kakek dari pemimpin saat ini, Kim Jong-un.
Ada istana anak-anak yang besar, menampilkan pemain musik anak, dilatih keras selama berbulan-bulan untuk menawarkan pertunjukan biola dan tarian yang sempurna. Tapi yang paling menonjol adalah Arirang Mass Games, pertunjukan musik, senam, dan propaganda yang sangat tertata apik.
"Pertunjukan ini berjalan satu setengah jam dan stadion ini dengan lebih dari dua kali lipat kapasitas (stadion) MCG (di Melbourne), benar-benar lautan orang," kata Henschke.
"Orang-orang Korea Utara memberi tahu kami bahwa ada 120 ribu pemain dan tidak satu pun dari mereka muncul di panggung dua kali."
Bagi Dr Graham, yang menonton kembali hasil jepretannya di Australia, tontonan itu memberinya petunjuk pada kisah politik yang saat ini dijalin rezim Kim.
"Itu sangat menarik bagi saya, setelah melihat lebih dari satu pertunjukan Arirang, bahwa yang ini memiliki pesan baru," katanya.
"Anda melihat rekaman dari kedua pemimpin Korea bertemu [Kim Jong Un dan Presiden Korea Selatan, Moon Jae-in] dan gambar itu hadir pula untuk dinikmati penonton Korea Utara."
"Intinya adalah bahwa segala sesuatu di Korea Utara harus menegaskan kembali legitimasi rezim Kim."
Kelompok tur dikelola ketat
Ada kontradiksi yang melekat dalam masyarakat tertutup seperti Korea Utara, yang membuat orang luar yang masuk -lewat kunjungan wisata membuka pikirannya. Tetapi turis membuka dompet mereka, dan Dr Graham mengatakan itu adalah daya tarik utama bagi rezim.
"Korea Utara bergantung pada pendapatan dan pendapatan dari mata uang adalah sumber daya yang berharga ... dan kelompok wisata dikelola dengan ketat," katanya.
Henschke mengatakan, kelompoknya terus-menerus disertai oleh keamanan Korea Utara, tanpa kecuali.
"Salah satu dari kami mengalami sakit perut dan harus tinggal di hotel untuk hari itu. Salah satu penjaga keamanan harus tetap bersamanya," katanya.
"Itu adalah tempat yang sangat tak biasa, tapi harus saya katakan, saya benar-benar menikmati pengalaman itu."
Ada beberapa tempat lain yang wajib dikunjungi menurut banyak orang, tetapi Henschke mengatakan ia akan dengan senang hati mengunjungi Korea Utara lagi -jika ia bisa meyakinkan anak-anaknya untuk membiarkannya pergi.
"Putri saya, khususnya, merasa bahwa suatu hari keberuntungan saya akan berakhir, membungkuk di atas tebing mencoba mengambil foto dengan latar luar biasa ... tetapi pada akhirnya, mereka senang jika saya bahagia."
Simak berita ini dalam bahasa Inggris di sini.