REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan (Aher) akhirnya memenuhi panggilan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi dalam kasus suap perizinan proyek Meikarta. Sebelumnya, KPK sudah dua kali memanggil Aher, tetapi ia mangkir tanpa alasan kepada penyidik.
"Hari ini saya datang untuk memberikan, menjelaskan ya kasus Meikarta itu," kata Aher sebelum masuk ke Gedung KPK Jakarta, Rabu (9/1).
Ihwal ketidakhadirannya pada panggilan sebelumnya, Aher menjelaskan, surat pertama yang dikirimkan penyidik KPK pada 18 Desember 2018. Namun, isi surat dan alamat yang dituju berbeda.
"Jadi, amplop suratnya ditujukan ke saya, tetapi isi suratnya bukan untuk saya. Maka itu tanggal 19 Desembernya saya balikin lagi. Itu surat pertama," tuturnya.
Kemudian, lanjut Aher, untuk panggilan kedua menurutnya ada komunikasi yang terlewat lantaran surat tersebut dikirimkan ke rumah dinasnya di Jawa Barat. Sehingga, proses pengantaran dari rumah gubernur ke rumahnya ada hambatan.
"Sampai kemarin saya belum menerima surat tersebut. Karena itu saya tidak datang karena tidak menerima surat," terangnya.
"Nah kemudian kemarin Alhamdulilah saya komunikasi dengan pihak KPK melalui call center. Kemudian saya ceritakan persoalannya dan hari ini Alhamdulilah saya datang untuk memberikan penjelasan tentang kasus meikarta yang saya ketahui," tutur Aher.
Aher dipanggil sebagai saksi untuk tersangka Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yassin. KPK pun sudah memastikan telah mengirimkan surat panggilan ke rumah Aher di Jalan Otto Iskandar Dinata di Bandung.
Saat itu, surat tercatat diterima oleh seorang bernama Yogi di rumah tersebut pada 29 Desember 2018. Alamat tersebut sama dengan pengiriman surat sebelumnya yang sudah diterima saksi.
Tak hanya itu, KPK juga telah menghubungi nomor telpon genggam Aher, tetapi tidak direspon. Sejak pekan lalu, KPK juga sudah sampaikan rencana pemanggilan sebagai saksi.
KPK sebelumnya mengendus perizinan proyek Meikarta bermasalah. Lembaga antirasuah pun sempat mengimbau agar pihak Pemerintah Kabupaten Bekasi mengaudit ulang izin tersebut.
Dalam kasus ini, KPK menetapkan Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait izin proyek pembangunan Meikarta di Kabupaten Bekasi. Selain Bupati Neneng, KPK juga menjerat delapan orang lainnya dalam kasus ini.
Mereka adalah Kepala Dinas PUPR Pemkab Bekasi, Jamaludi; Kepala Dinas Damkar Pemkab Bekasi, Sahat MBJ Nahar; Kepala Dinas DPMPTSP Kabupaten Bekasi, Dewi Tisnawati; dan Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Kabupaten Bekasi, Neneng Rahmi.
Kemudian, pihak swasta bernama Billy Sindoro yang merupakan Direktur Operasional Lippo Group, Taryudi dan Fitra Djajaja Purnama selaku konsultan Lippo Group, serta Henry Jasmen pegawai Lippo Group.
Bupati Neneng dan kawan-kawan diduga menerima hadiah atau janji Rp 13 miliar terkait proyek tersebut. Diduga, realiasasi pemberian sampai saat ini adalah sekitar Rp 7 miliar melalui beberapa Kepala Dinas.
Keterkaitan sejumlah dinas lantaran proyek tersebut cukup kompleks, yakni memiliki rencana membangun apartemen, pusat perbelanjaan, rumah sakit, hingga tempat pendidikan. Sehingga, dibutuhkan banyak perizinan.