REPUBLIKA.CO.ID, TRIPOLI -- Osama Murad bermimpi memiliki kehidupan yang layak di Eropa. Ia kemudian memutuskan untuk melakukan perjalanan dari Palestina ke Libya. Namun bukannya mendapat kesempatan ke Eropa, di Libya ia justru dijebloskan ke pusat perbudakan.
Menurut Murad, intelijen Libya telah menahannya. Ia dan migran-migran lainnya dieksploitasi untuk melakukan kerja paksa dengan dipukul dan disiksa.
Murad berbagi kisahnya dengan Al Arabiya. Ia mengungkapkan peran lembaga negara Libya, termasuk karyawan dan anggota kelompok bersenjata, dalam menyalahgunakan dan mengeksploitasi migran. Mereka memanfaatkan migran untuk menjadi buruh kerja paksa.
Kisah pemuda Palestina itu dimulai pada Juli 2018 ketika dia meninggalkan negaranya dan pergi ke Libya. Rencananya, dari Libya ia akan menyeberangi Mesir untuk akhirnya mencapai Eropa dan mencari peluang kerja serta keamanan di sana.
Namun, begitu mencapai wilayah Libya, Murad diculik dan ditangkap oleh kelompok bersenjata yang membawanya ke kantor intelijen Libya di Tripoli bersama dengan sepuluh migran lainnya.
Meskipun masuk ke Libya secara legal, para migran itu tetap dipenjara di pusat-pusat penahanan. Mereka menjadi sasaran kengerian yang tak terbayangkan, termasuk penyiksaan fisik dan emosi, serta kelaparan.
“Kami diperlakukan seperti budak. Kami, 10 warga Palestina dan sekitar 30 migran Afrika, berada di satu pusat penahanan, tempat kami disiksa setiap hari dengan alat-alat besi, kejutan listrik, dan kami juga mengalami pemukulan, kelaparan, dan mati lemas setiap hari," kata Murad kepada Al Arabiya.
"Kami dimasukkan ke dalam kamar kecil yang sunyi, tempat kami tidak bisa bergerak atau bernapas," tambah dia.
Menurutnya, para migran dipaksa untuk bekerja keras dalam jam kerja yang panjang setiap hari. Migran diancam akan dibunuh jika menolak untuk bekerja. Seorang migran bahkan ditembak mati ketika membantah.
"Mereka memindahkan kami dari satu tempat ke tempat lain seperti binatang. Kami bekerja di peternakan dan situs konstruksi dalam kondisi yang mengerikan tanpa dibayar," ungkapnya.
Baca juga, 15 Jasad Migran Terombang-ambing dalam Perahu di Mediterania.
Murad dan warga Palestina lainnya ditahan selama empat bulan sebelum Kedutaan Besar Palestina di Libya melakukan intervensi untuk membebaskan mereka. Meski telah bebas, migran lainnya masih ditahan di pusat-pusat penahanan seperti itu dalam kondisi tidak manusiawi yang menderita pelecehan, eksploitasi, dan ancaman pembunuhan.
Terlepas dari adanya bukti nyata terkait pelanggaran terhadap migran dan pengungsi di Libya, Pemerintah Libya hanya melakukan sedikit upaya untuk menghentikan hal tersebut.