REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Hasanul Rizqa, Fergi Nadira
Venezuela kian tenggelam dalam krisis sosial-politik berkepanjangan. Teranyar, negeri yang mengandalkan ekspor minyak mentah itu memunculkan dwikepemimpinan, yakni Nicolas Maduro versus Juan Guaido.
Maduro (56 tahun) menjadi presiden Venezuela ke-65. Dia menggantikan Hugo Chavez yang meninggal dunia pada 5 Maret 2013. Di bawah kepemimpinannya, negeri bekas jajahan Spanyol di Amerika Selatan itu terus terpuruk sampai sekarang.
Lesunya perekonomian nasional sempat terjadi, terutama sejak harga minyak dunia mengalami tren penurunan. Berbagai aksi demonstrasi telah dilakukan untuk mendesak Maduro mundur dari jabatannya.
Bagaimanapun, Maduro keluar sebagai pemenang pemilihan umum yang digelar pada Mei 2018. Kelompok oposisi menilai pemilu itu sarat kecurangan sehingga memboikotnya. Pada 10 Januari 2019, figur sentral Partai Sosialis Bersatu (PSUV) tersebut dilantik menjadi presiden Venezuela untuk periode kedua.
Tensi politik segera meningkat. Pada Rabu (23/1), Juan Guaido (35) mengumumkan diri sebagai presiden sementara Venezuela. Pemimpin opisisi itu menegaskan, terpilihnya Maduro melalui Pemilu 2018 tidak sah.
Figur dari Majelis Nasional (Asamblea Nacional) Venezuela itu meyakini langkahnya merebut kekuasaan dari Maduro sebagai cara konstitusional. Dia juga menyerukan demonstrasi besar menuntut pengunduran diri Maduro yang akan diadakan lagi pekan depan.
Guaido pun menolak tawaran dialog dari Maduro. "Itu ajakan palsu. Itu dialog palsu. Saya akan mempertimbangkan amnesti internasional," ujar Guaido seperti dikutip BBC, Sabtu (26/1).
Maduro sejauh ini masih mempertahankan dukungan militer negara, tapi Guaido telah meminta tentara menempatkan diri mereka di pihak rakyat Venezuela.
Amerika Serikat (AS) langsung menyatakan dukungan terhadap Guaido serta menolak mengakui Maduro sebagai presiden. Langkah Presiden AS Donald Trump didukung tujuh negara di Amerika Selatan, seperti Brasil, Kosta Rika, Argentina, Peru, Kolombia, Ekuador, dan Cile.
Demikian pula dengan Kanada, Spanyol, dan Inggris. Adapun Uni Eropa cenderung mengambil jalan tengah, yakni meminta segera digelarnya pemilu yang bebas dan dapat dipertanggungjawabkan di Venezuela.
Sementara, Maduro didukung pemimpin negara-negara kawasan, seperti Meksiko, Bolivia, dan Kuba. Dukungan yang sama juga diperolehnya dari negara-negara besar, semisal Turki, Cina, dan Rusia. Moskow bahkan baru-baru ini memperingatkan AS agar tidak mencampuri urusan internal Venezuela.
"Saya berterima kasih kepada Rusia, Cina, Turki, dan pemerintah lain serta rakyat di seluruh dunia atas dukungan kuat mereka kepada Pemerintah Venezuela yang sah. Venezuela tidak sendirian," kata Maduro di cicitan Twitter yang dikutip kantor berita Turki, Anadolu, Jumat.
Hubungan Caracas dan Washington DC kian memanas. Maduro pada pekan ini menutup kedutaan besar dan konsulat Venezuela di AS serta menarik semua diplomatnya. Dia juga memberikan tenggat waktu hingga Ahad (27/1) supaya seluruh diplomat AS angkat kaki dari Venezuela.
“Mereka (AS) merasa punya legitimasi kolonial di Venezuela,” kata Maduro mengkritik kebijakan luar negeri Trump dalam pidatonya yang disiarkan televisi nasional setempat, Kamis (24/1), dikutip Aljazirah.
Adanya dua politikus yang mengklaim kepresidenan kian mengancam stabilitas Venezuela. Tidak menutup kemungkinan, negeri itu berlarut-larut dalam krisis kepemimpinan. Masing-masing pihak sejauh ini berupaya menjungkalkan satu sama lain, antara lain, dengan menggalang koalisi sebesar-besarnya.
Dilansir the Wall Street Journal, Jumat (25/1), Juan Guaidó menyampaikan pidato publik pertamanya sebagai presiden ad-interim Venezuela. Pasca-dukungan AS dan sejumlah negara Barat terhadapnya, Guadio menawarkan amnesti bagi birokrat dan prajurit Venezuela yang masih berseberangan dengan kubu opisisi.
Hal itu bertujuan melemahkan dukungan militer dan birokrasi yang selama ini menopang pemerintahan Maduro. “Di sini, kita melindungi rakyat,” katanya di hadapan ribuan pendukung di Caracas. “Setiap pejabat yang ingin di pihak (pembela) konstitusi, setiap pejabat yang mendapatkan arahan dan ingin mengakhiri perebutan kekuasaan, akan (kami) sambut,” ujarnya.
Terpisah, Maduro dalam siaran langsung televisi pro pemerintah menegaskan, seluruh angkatan bersenjata mendukung legitimasinya sebagai presiden. Suami Cilia Flores itu lantas menyeru publik pendukungnya agar turun ke jalan, menggalang aksi besar-besaran. Mereka diinstruksikan untuk menandingi gerakan yang digalang kubu oposisi.
Maduro menekankan, naiknya Guadio adalah upaya AS untuk menjalankan kudeta terhadap Pemerintah Venezuela yang sah. “Kita akan mengalahkan kudeta ini. Kita juga harus meningkatkan kesiapan terhadap ancaman serbuan militer (asing). Jika kalian menginginkan perdamaian, jika kalian mencintai tanah air ini, bersiap-siaplah untuk mempertahankannya,” kata Maduro.
(ed: dewi mardiani)