REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Suatu saat, imam Bukhari melakukan rihlat li thalab al hadits, perjalanan dengan misi utama men cari hadis-hadis yang ter se bar di daerah-daerah yang jauh. Ia menempuh jarak ratusan ki lo meter untuk mengambil riwayat hadis tertentu dari seorang perawi.
Setibanya di lokasi, ia mendapati perawi yang ia tuju itu sedang beranjak memberi makan kudanya di sebuah ember. Padahal, imam Bukhari melihat secara kasat mata, ember tersebut kosong, tak ada makanan sama sekali. Tampaknya, pe rawi yang bersangkutan bermaksud mempermainkan dan menipu kudanya.
Mengetahui hal itu, imam Bukhari lantas membatalkan niat mengambil riwayat dari perawi tersebut. Perlakuannya terhadap kuda itu menunjukkan sikap tak jujur. Bukhari pun beranggapan, bila pada binatang saja ia berbohong maka tak menutup kemungkinan berbuat hal yang sama kala meriwayatkan hadis. Kisah ini menunjukkan dua hal sekaligus, yaitu kehati-hatian periwayatan hadis dan etika memperlakukan binatang.
Islam meletakkan kaidah-kaidah bagaimana bersikap yang adil dan laik kepada binatang. Hal ini karena, pada dasarnya, satwa memiliki hak yang sama seperti makhluk Allah yang lain. Hak untuk hidup dan eksis sebagai bagian tak terpisahkan dari alam semesta. Termasuk, hak mendapatkan perlakuan baik. Etika-etika tersebut secara langsung dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Nabi Muhammad adalah sosok penyayang binatang.
Keteladanan yang ditunjukkan Rasulullah mendobrak paradigma dan tradisi yang berlaku di masyarakat Arab jahiliyah. Mayoritas bangsa Arab di masa itu terkenal dengan kebengisan dan penyiksaan berlebihan terhadap hewan. Seperti banyak dikisahkan dalam buku sejarah Arab kuno, mereka kerap memasang cincin di leher unta, mencabuti bulu, dan memotong ekor. Bahkan, tak jarang mereka mengambil daging atau bagian tertentu dari tubuh hewan untuk dimasak. Tindakan itu berlangsung saat hewan dalam kondisi hidup dan sadar. Rasulullah pun melarang perilaku buruk mereka.
Secara garis besar, tuntunan yang diberikan Rasulullah ialah hendaknya hindari menyiksa dan menyakiti hewan. Nabi SAW melarang orang membebani hewan terlalu lama dan melampaui batas kemampuannya. Sebagaimana tertulis dalam hadis, “Jangan jadikan punggung hewan-hewanmu sebagai kursimu.” Rasulullah pun meminta agar tidak memberikan cap tanda pengenal pada binatang di mukanya. Melainkan, di bagian-bagian tubuh binatang yang tak terlalu lunak.
Rasulullah menyerukan agar tidak mengganggu keberlangsungan hidup binatang. Hal ini, terlihat saat Rasulullah meminta sahabat mengembalikan telur burung yang baru meretas. Selain memberikan kesempatan hidup, Rasulullah berpandangan bahwa mengambil telur-telur itu bisa menyakiti induk mereka.
Rambu-rambu itu terus disampaikan Ra sulullah kepada para sahabat. Nabi SAW menasihati mereka agar bersikap lembut dan bertimbang rasa, bahkan saat hendak me nyembelih hewan. Islam mengajarkan, proses penyembelihan berlangsung dengan cepat dan tidak menyakitkan. Hal ini bisa ditempuh dengan menyembelih di sekitar leher, tepatnya di saluran nafas, mempertajam pisau, dan tidak memperlihatkan pengasahan alat pemotong itu di depan hewan yang hendak disembelih.
Rasulullah melarang pula membunuh hewan tanpa alasan yang jelas. Larangan ini terlihat jelas di sebuah riwayat. Hadis itu menegaskan bahwa barang siapa membunuh binatang, walaupun hanya seekor burung pipit atau binatang yang lebih kecil tanpa maksud jelas maka Allah akan meminta pertanggungjawaban sang pelaku.
Bentuk empati Rasulullah terhadap hewan diwujudkan pula dengan memberikan pelayanan terbaik. Salah satunya ialah memberikan makanan secara langsung, tanpa diwakilkan pada orang lain. Hal itu kerap dikerjakan oleh Rasulullah. Suatu ketika, Nabi pernah meninggalkan para sahabat di suatu majelis untuk memberi minum seekor kucing dengan sebuah wadah. Rasulullah pun memegang sendiri tempat minum itu sampai hewan itu tak lagi merasa haus.
Berbagai tuntutan tersebut, dimaknai, dipahami, dan dilaksanakan secara baik oleh para sahabat. Terkait pembantaian binatang tanpa sebab, misalnya, larangan yang digariskan Rasulullah tersebut diimplementasikan maksimal oleh Abu Bakar RA. Hadis tersebut dijadikan sebagai landasan peraturan bagi para tentara Muslim yang berangkat ke Suriah. Ia dengan tegas menyeru membunuh domba, sapi, atau unta kecuali untuk tujuan memperoleh makanan.
Contoh pekerti luhur Rasulullah terhadap binatang juga mengilhami sahabat lainnya. Adalah Ali bin Abi Thalib, menantu Nabi SAW, yang menasihati orang-orang supaya bersikap baik terhadap binatang-binatang, tak terkecuali hewan pengangkut. Ia berpesan, “Berbaik hatilah pada binatang-binatang pengangkut; jangan lukai mereka dan jangan muati mereka dengan beban yang melebihi kemampuan mereka.”
Apresiasi dan sanksi
Tiap tindakan baik atau buruk yang dilaku kan seseorang terhadap binatang akan mendapat balasan. Perlakuan jahat dan tak mengenakkan kepada hewan akan dicatat sebagai keburukan yang bisa mengantarkannya mendapat siksa di neraka kelak. Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar RA, Rasulullah bersabda, “Seorang perempuan disiksa akibat kucing yang ia kurung, tanpa dikasih makan atau minum karena terkurung. Ia pun tak membiarkannya mencari makan sendiri dari alam luar.” (HR. Bukhari Muslim)
Demikian sebaliknya, apresiasi diberikan oleh Allah SWT bagi mereka yang berbuat baik terhadap binatang dan menghindari tindakan apa pun yang dapat melukai mereka. Dalam sebuah riwayat Abu Hurairah RA disebutkan bahwa seorang laki-laki pernah melihat anjing sedang menjulurkan lidahnya akibat kehausan.
Karena merasa iba, ia pun mengambil sepatu yang ia gunakan dan menuangkan air di dalamnya untuk memberi minum anjing. Lelaki itu pun mendapat ampunan atas perbuatannya itu. Dan, Rasulullah menegaskan bahwa se tiap perlakuan baik yang diperuntukkan bagi makhluk hidup di dunia akan berbalas pa hala, demikian pula sebaliknya. (HR Bukhari Muslim).