REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif mengatakan, KPK akan mengirimkan delegasinya ke London, Inggris. Pengiriman delegasi tersebut untuk mempelajari banyak hal terkait pemberantasan korupsi.
Menurut Syarif dengan rekam jejak yang dimiliki Inggris sebagai salah satu negara yang memiliki banyak pengalaman soal pemberantasan korupsi, maka sudah seyogyanya penyidik ataupun penyelidik KPK harus belajar dari Inggris terkait upaya pemberantasan korupsi. Termasuk, soal beneficial owners atau kepemilikan perusahaan penerima manfaat dan terkait akutansi forensik.
"Penyidik KPK dan penyelidik ingin belajar ke Inggris, khususnya tentang forensic accounting atau hal-hal lain yang kami anggap lebih advance di sana," kata Syarif di Gedung KPK Jakarta, Senin (11/2).
Diketahui, pada Senin (11/2) pimpinan KPK dan jajarannya melakukan pertemuan dengan Deputi Duta Besar Inggris untuk Indonesia, Robb Fenn di Gedung KPK Jakarta. Menurut Syarif, salah satu hal yang menjadi fokus KPK dalam pertemuan tersebut ialah terkait beneficial owners.
"Kami bahas pencegahan, dan sekaligus membicarakan kerja sama pelatihan dengan pemerintah Inggris. Itu yang kami bicarakan ada beberapa hal. Ada yang lebih teknis misalnya pelatihan yang berhubungan dengan beneficial owners, pelatihan berhubungan dengan pengadaan barang melalui elektronik, pelatihan lain, dan korupsi di private sector," ungkap Syarif.
Diketahui, berkaca dengan Inggris, saat ini pemerintah sudah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi (Beneficial Owners). Dengan aturan ini, setiap perusahaan yang mendaftar di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM (Ditjen AHU Kemkumham) harus menyebutkan nama pemilik perusahaan. Namun, sambung Syarif, KPK masih perlu mempelajari implementasi aturan ini dalam upaya pemberantasan korupsi.
Sementara Fenn yang hadir mewakili Inggris dalam pertemuan tersebut membenarkan adanya upaya Inggris dan KPK untuk memperkuat kerja sama yang sudah terjalin. Adapun, salah satu kerja sama yang menjadi prioritas, yakni terkait publikasi beneficial owners yang sudah diatur dalam Perpres nomor 13 Tahun 2018 tersebut.
Fenn menyebut Inggris merupakan negara pertama yang meluncurkan situs khusus berisi data beneficial owners setiap perusahaan yang terdaftar di Inggris. Menariknya pada tahun pertama diluncurkan, situs mengenai data beneficial owners langsung diakses dua miliar kali.
Sehingga, lanjut Fenn, publikasi data soal beneficial owners merupakan salah upaya efektif untuk mencegah dan memberantas korupsi. Meski demikian, Fenn mengatakan, jalan panjang masih terbentang dalam upaya pemberantasan korupsi, termasuk di Indonesia.
"Tapi kita tidak bisa santai, masih ada jalan panjang yang harus ditempuh untuk negara-negara yang serius memerangi korupsi," katanya.
Menurut Fenn, pihaknya akan mendukung penuh upaya KPK mengirimkan delegasi ke London pada bulan depan untuk memahami institusi yang dapat mendukung investigasi di Indonesia. "Selama mereka (penyidik/penyelidik KPK) ada di sana (Inggris), SFO (Serious Fraud Office/ Lembaga Antikorupsi Inggris) juga akan memberikan peningkatan kapasitas pada akuntansi forensik. Kerja sama kami Dengan KPK sangat penting. Kami akan bekerja lebih keras dan lebih dekat satu sama lain," tutur Fenn.
Fenn juga mengapresiasi kinerja KPK dan pemerintah Indonesia dalam upaya pemberantasan korupsi. Bahkan, ia menilai, Indonesia sudah dapat berbicara di tingkat internasional mengenai upaya pemberantasan korupsi.
"Kami melihat indonesia sebuah negara yang menghadapi masalahnya dari bawah. Sekarang Indonesia bisa jadi pembawa bendera untuk agenda pemberantasan korupsi di kawasan ini dan secara global di PBB," ungkapnya.
Mendengar pujian Fenn, Syarif mengatakan, KPK bukan lembaga yang paling sukses dalam pemberantasan korupsi di dunia. Namun, Kantor PBB untuk urusan Narkoba dan Kejahatan, United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) menyebut KPK sebagai lembaga yang paling agresif. "Karena kita memproses bukan hanya pejabat kelas bawah, tapi yang tinggi juga," ujar Syarif.