Rabu 13 Feb 2019 19:32 WIB

Alasan Muhammadiyah Pilih Tema 'Beragama yang Mencerahkan'

Muhammadiyah berupaya mengusung kembali peran agama sebagai kekuatan dinamis

Rep: Fuji Eka Permana/ Red: Hasanul Rizqa
Sekum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti
Foto: darmawan / republika
Sekum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah akan menggelar sidang tanwir atau rapat kerja di Bengkulu pada 15-17 Februari 2019. Tema yang dipilih untuk acara tersebut adalah "Beragama yang Mencerahkan."

Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti mengungkapkan latar belakang terpilihnya tema tersebut. Menurut dia, dengan tema itu Muhammadiyah mengajak publik untuk merenungi fenomena belakangan ini. Dia menyebut,keberagamaan di Indonesia dalam beberapa aspek cenderung mengarah pada sisi kontraproduktif.

"Maksudnya, agama belum mampu hadir sebagai kekuatan yang mencerahkan, kekuatan yang menggerakkan, kekuatan yang mempersatukan," kata Abdul Mu'ti kepada Republika.co.id di Gedung PP Muhammadiyah, Jakarta, Rabu (13/2).

Dia menerangkan, dalam konteks kehidupan beragama, ada empat fenomena yang sekarang muncul di Indonesia. Pertama, fenomena yang disebutnya spiritualisasi keagamaan. Artinya, agama dimaknai dan diamalkan sebatas ritual-ritual atau ibadah formal.

Pada taraf tertentu, hal itu akan mengarah pada kebangkitan kembali fatalisme Islam atau domestikasi Islam. Agama dianggap hanya wilayah ritual belaka, sehingga tidak bisa dibawa ke ruang publik. Selanjutnya, muncul wajah baru mistisisme Islam sebagai konsekuensinya.

"Di mana agama digunakan untuk mengusir setan, mengusir jin, mencari rejeki, ini bentuk baru dari mistisisme Islam," ujar dia.

Kedua, fenomena komodifikasi agama. Dalam hal ini, agama dijadikan sebatas ceruk bisnis. Orientasinya hanya pada keuntungan karena dalam beberapa aspek amalan agama berhubungan langsung dengan aspek ekonomi. Misalnya, sebut dia, ibadah kurban, tren busana Muslim, atau umrah dan haji.

"Karena itu dimaknai lebih sebagai peluang bisnis, maka kita lihat ada penipuan atau kriminal berbasis agama contohnya kasus umrah (travel umrah bermasalah). Motivasi mereka menyelenggarakan umrah emang murni bisnis, bukan melayani orang yang mau beribadah," papar dia.

Ketiga, fenomena politisasi agama yang terjadi ketika agama dijadikan sebagai kendaraan kepentingan politik kekuasaan. Lebih lanjut, Abdul Mu'ti menjelaskan, dampak lain dari politisasi agama adalah terorisme. Dalam hal ini, orang yang tidak bertanggung jawab menjadikan agama sebagai pembenaran untuk tindak kekerasan. Sampai kini, isu terorisme masih menjadi masalah di banyak negara.

Dalam konteks Indonesia, Sekum PP Muhammadiyah itu menyampaikan, menjelang Pilpres pada April 2019, mulai marak gejala polarisasi politik di tengah masyarakat, khususnya umat Islam. Sebagai contoh, kubu-kubuan itu tampak dari adanya klaim bahwa suatu kandidat lebih merepresentasikan agama tertentu daripada lawannya.

Polarisasi politik itu juga memunculkan berbagai oposisi biner, yang belum tentu sahih. Misalnya, suatu kandidat dicap sebagai representasi kelompok nasionalis dan moderat, sedangkan kandidat lain diklaim mendukung khilafah atau pro-radikal.

Oleh karena itu, Muhammadiyah berupaya mengusung kembali peran agama sebagai panduan moral demi kebaikan umat manusia, baik dunia maupun akhirat. Dalam semangat itu, terpilihlah tema "Beragama yang Mencerahkan."

Abdul Mu'ti juga menekankan, beragama adalah berproses, sehingga harus menjadikan agama sebagai kekuatan yang dinamis.

"Bagaimana agama memberikan panduan kepada manusia, pentingnya meraih kebahagian material dan spiritual, ini yang selama ini, menurut saya, sedikit mengalami peluruhan dalam kehidupan kita," ujarnya.

"Kita menjadi maju dengan agama dan menjadi bermakna dengan beragama," ucap dia menyimpulkan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement