REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tren mode busana Muslimah kian berkembang. Beberapa di antaranya, ada yang dirancang dengan bahan yang memanjang hingga menyentuh tanah. Tentu, model busana semacam ini sangat rentan terkena najis. Najis yang ada di tanah atau tempat tertentu itu entah berupa najis yang kering ataupun basah.
Sering kali keberadaan najis yang telah bersarang di pakaian Muslimah tersebut tidak disadari. Padahal, tak jarang busana yang sama dan terindikasi najis itu dipakai untuk shalat, misalnya. Ini tentu tidak dibenarkan. Mengingat, salah satu syarat sah shalat ialah pakaian yang dikenakan mesti dalam kondisi suci.
Prof Abdul Karim Zaidan dalam bukunya yang berjudul al-Mufashal fi Ahkam al-Marati menguraikan pendapat ulama terkait cara menyucikan ujung baju Muslimah yang terkena najis. Ada beberapa hadis yang menunjukkan contoh pensuciannya. Seperti, hadis tentang kisah Ummu Salamah.
Ia bertanya kepada Rasulullah SAW perihal najis yang menimpa ujung pakaian bagian bawah. Bagaimana cara menyucikannya? Rasul menjawab, “Cukup suci dengan debu (kering) lainnya).”
Menurut Zaidan, ketentuan ini berlaku jika najis tersebut berupa benda kering. Apakah metode yang sama berlaku untuk jenis najis dari zat basah? Para ulama berbeda pendapat. Menurut Imam Syafi’i, ketentuan dalam hadis Ummu Salamah itu hanya berlaku selama najis kering tersebut tidak menempel lengket di baju. Karena itu, jika najis berupa benda basah, tetap saja harus dicuci.
Imam Malik berpendapat, maksud hadis Ummu Salamah ialah najis atau kotoran kering yang tidak lengket, hanya sekadar menempel biasa. Jika demikian, najis itu bisa dianggap suci dengan sendirinya akibat terkena debu kering lain yang suci. Sedangkan, najis seperti air seni dan jenis basah lainnya maka tidak bisa suci selain menggunakan air.
“Ini telah disepakati ulama,” katanya.
Menurut Imam az-Zarqani, sebagian ulama berpendapat lain. Najis yang dimaksud di hadis Ummu Salamah itu tak terbatas. Apapun jenis najisnya, baik basah ataupun kering. Status hukum ujung baju Muslimah bagian bawah sama halnya dengan khuf (semacam sepatu) dan sandal bagi laki-laki. Kalangan ini merujuk pada hadis lemah yang dinukilkan oleh Ibnu Majah dari Abu Hurairah.
Syekh ad-Dahwlawi mengatakan, jika ujung bagian bawah tersebut terkena najis di jalanan atau pelataran, misalnya, lalu terseret dan tercampur dengan tanah atau debu yang lain di tempat berbeda maka dianggap suci dengan sendirinya. Ini karena gesekan yang terjadi antardebu dan najis. Dan, kondisi semacam itu dianggap sebagai ma’fu ‘anhu atau dispensasi.
Imam Muhammad bin al-Hasan berpendapat, najis itu tak jadi soal selama tidak menempel dengan takaran sebesar uang dirham. Lebih dari ukuran itu maka harus tetap disucikan dengan mencucinya. Pendapat yang sama dikuatkan pula oleh Imam Abu Hanifah.
Bagaimana menyucikan baju yang terkena najis itu? Prof Zaidan kembali menjelaskan, menghilangkan najis yang berupa zat basah, cucilah bagian baju yang terkena najis dengan air yang suci. Tak cukup hanya dengan memercikkan atau mengalirkan air, tetapi basuh dan kucek objek yang dimaksud. Jika proses tersebut sudah dilakukan maka peras bagian yang terdapat najisnya.
Bila najis itu berasal dari kotoran babi atau anjing, penyuciannya ditempuh sebanyak tujuh kali, salah satunya dengan tanah. Sebagian ulama masa kini memperbolehkan mengganti tanah itu dengan sabun. Ini sesuai dengan hadis riwayat Bukhari Muslim.
Najis yang bukan dari dua kategori di atas ada banyak versi pendapat. Menurut Mazhab Hanbali, penyuciannya seperti yang berlaku dalam kasus najis dari anjing atau babi, yaitu tujuh kali dan salah satunya dengan tanah atau sabun. Pendapat Hanbali yang lain menyatakan bahwa tak ada batasan jumlahnya. Pandangan terakhir ini juga merupakan opsi yang berlaku di kalangan Mazhab Syafi’i dan Hanafi. Jadi, jumlah penyuciannya tak perlu dipatok. Batasannnya, selama najis hilang maka sudah dianggap cukup.