Rabu 27 Feb 2019 04:54 WIB

Revisi Perda Kawasan tanpa Rokok Masuk Tahap Finalisasi

Revisi Perda KTR tidak mengatur tentang batasan produksi atau iklan rokok.

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Friska Yolanda
Kawasan bebas rokok, Makassar, Kamis (4/10).
Foto: Antara
Kawasan bebas rokok, Makassar, Kamis (4/10).

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Anggota Pansus Revisi Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (Perda KTR) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Surabaya Reni Astuti mengungkapkan, pembahasan Revisi Perda tersebut sudah masuk tahap finalisasi. Selanjutnya, draf revisi yang telah disusun akan dikirim ke Gubernur Jawa Timur melalui Badan Musyawarah DPRD Surabaya.

"Kalau sudah ditindaklanjuti oleh gubernur, kemudian dikembalikan ke DPRD Surabaya untuk diparipurnakan dan diberi nomor. Semoga proses pengesahannya di paripurna berjalan lancar,” kata Reni dalam gelaran diskusi yang diselenggarakan Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara Biro Jatim, Surabaya, Selasa (26/2).

Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (Kabid P2P) Dinkes Kota Surabaya, Mira Novia mengatakan, sebelumnya Kota Surabaya memiliki Perda Nomor 5 Tahun 2008 tentang Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok (KTR/ KTM). Kemudian, revisi Perda Nomor 5 Tahun 2008 tersebut diajukan ke DPRD Surabaya karena ada aturan bersama dari Pemerintah Pusat yang harus mengubahnya menjadi KTR.

"Tapi dalam revisi ini kami tetap memasukkan unsur KTM. Beberapa item harus diubah serta merinci lokasi KTR di mana saja,” kata Mira.

Mira memaparkan, dalam Perda Nomor 5 Tahun 2008 hanya ada lima lokasi KTR, yaitu sarana kesehatan, tempat belajar-mengajar, angkutan umum, tempat bermain anak, dan tempat ibadah. Kemudian dalam revisi ini, ditambahkan tiga lokasi KTR baru yang harus menyediakan tempat untuk merokok, yaitu kantor, tempat-tempat lainnya, dan tempat umum.

Mira menegaskan Revisi Perda KTR tidak mengatur tentang batasan produksi atau iklan rokok. “Revisi Perda KTR hanya mengatur di mana orang seharusnya boleh merokok. Karena Orang yang tidak merokok punya hak asasi. Mereka juga ingin hidup sehat dan harus kami akomodasi,” ujar Mira.

Jika revisi Perda tersebut mulai diterapkan, sanksi bagi yang melanggar adalah denda senilai Rp 250 ribu. Kemudian bagi Aparatur Sipil Negara yang melanggar, sanksinya bisa dipecat.

Ketua APTI Soeseno dalam kesempatan itu merasa pihaknya tidak dilibatkan dalam penyusunan Revisi Perda KTR. Dia berharap Revisi Perda KTR, meski nantinya setelah disahkan hanya diberlakukan di wilayah Kota Surabaya, tidak merugikan bagi para petani tembakau di Jawa Timur.

"Apalagi tembakau dari Jawa Timur selama ini memberi kontribusi sebesar 60 persen bagi industri rokok se-Indonesia," kata Soeseno.

Soeseno menilai, Perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Kota Surabaya kurang efektif. Dia memganggap revisinya aturan tersebut asal dibuat oleh pemerintah daerah. “Ngapain dibuat revisi, saya juga baca di beberapa media masa, yang terjadi seperti itu. Itu artinya kan implementasinya tidak efektif, tapi kalau aturan ini mengatur perilaku, itu tergantung dari perokoknya dan pemerintah kota bisa menerapkan atau tidaknya,” ujar Soeseno.

Soeseno menjelaskan, pada perda KTR sebelumnya, juga tidak sepenuhnya dilaksanakan dengan benar dan baik. Dirinya menyayangkan, jika perda tersebut hanya sekadar untuk dibuat tanpa adanya penerapan secara riil oleh penegak aturan tersebut.

“Di Surabaya ini kan sudah ada perdanya, itu saja belum dilaksanakan degan baik, apa lagi sudah direvisi yang baru ini,” kata dia.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement