REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) Edy Putra Irawadi mengakui, masih banyak permasalahan yang dihadapi di BP Batam. Di antaranya, aturan yang berlaku di sana tanpa sepengetahuan pemerintah, terutama Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Selama ini, Edy menambahkan, banyak aturan berbenturan satu sama lain. Misalnya, kemudahan berusaha dari sisi tata niaga dan pengadaan tanah yang harus dilewati pengusaha. Dampaknya, sejumlah investasi berjalan tidak baik. "Banyak yang mangkrak, sekitar 2.800 hektar," tuturnya ketika ditemui di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Selasa (5/3).
Tata niaga yang dimaksud Edy adalah pengusaha diwajibkan mencantumkan Laporan Surveyor (LS) mengenai komoditas hasil produksi dan bahan baku. Padahal, dalam regulasi yang ada, proses ini tidak harus dilalui. Di antaranya, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2012 tentang Perlakuan Kepabeanan, Perpajakan, Dan Cukai Serta Tata Laksana Pemasukan dan Pengeluaran Barang Ke Dan Dari Serta Berada Di Kawasan Yang Telah Ditetapkan Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas Dan Pelabuhan Bebas.
Menurut Edy, ke depannya, apabila ada kementerian yang ingin mewajibkan tata niaga tersebut harus melapor dahulu kepada Kemenkeu. Tujuannya, agar pengusaha bisa mendapatkan arahan sesuai dengan aturan yang berlaku. Selain itu, tidak menimbulkan kebingungan pada investor yang ingin ekspansi ataupun calon investor.
Edy memastikan, pihaknya terus melakukan berbagai upaya untuk mengatasi hambatan tersebut. Di antaranya melalui penyederhanaan perizinan lewat satu pintu atau yang dikenal dengan Online Single Submission (OSS). Kebijakan ini sekaligus menjadi harmonisasi antara BP Batam dan Pemerintah Kota Batam yang regulasinya kerap tidak sejalan.
Sejumlah skema juga tengah disiapkan BP Batam untuk mengatasi persoalan lahan yang mangkrak. Edy menyebutkan, kondisi ini karena tidak sedikit pemilik konsesi lahan di Batam tidak merealisasikan pembangunan industrinya seperti yang dijanjikan pada awal. "Mereka kehabisan modal dengan biaya sewa 30 tahun," ujarnya.
Edy mengatakan, salah satu skema yang disiapkan adalah pemberian intensif dalam pembayaran sewa lahan. Yakni, restrukturisasi termin pembayaran sewa lahan. Skema ini akan sedang diuji coba pada PT Lion Air yang ingin membangun fasilitas Maintenance, Repair, and Overhaul (MRO) di Batam.
Skema tersebut memungkinkan pengusaha membayar sewa untuk lima tahun saja, dari yang sebelumnya 30 tahun. Dampaknya, pengurangan jangka waktu ini memungkinkan uang pengusaha tidak habis untuk menyewa tanah saja. "Supaya nantinya ada capex (capital expenditure) dan opex (operational expenditure)," tutur Edy.