REPUBLIKA.CO.ID, MAKASSAR - Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulawesi Selatan terus fokus dalam mengembangkan program 'Moslem Friendly' di Tana Toraja dan Toraja Utara dalam rangka peningkatan kunjungan wisatawan di daerah tersebut.
"Pemprov berkomitmen mengembangkan destinasi yang ada di Toraja, baik di Tana Toraja dan Toraja Utara agar semakin maju," kata Wagub Sulsel Andi Sudirman Sulaiman dalam keterangan persnya di Makassar, Selasa (5/3).
Apalagi anggaran dan interaksi semakin besar di dua kabupaten ini. Toraja sendiri terkenal akan atraksi dan budayanya hingga ke mancanegara.
Wagub Sulsel telah bertemu perwakilan Kabupaten Toraja Utara untuk membahas tentang potensi pasar 'Moeslim Friendly Destination'. Apalagi data PHRI Toraja Utara, menyebutkan 73 persen wisatawan yang datang ke Toraja wisatawan domestik dan hanya 27 wisatawan mancanegara. Hampir 75 persennya juga wisatawan Muslim.
Anggota keluarga duka melakukan tari ma'badong saat prosesi ma'pasonglo di Alang-alang, Toraja Utara, Sulawesi Selatan,
Kadis Pariwisata Toraja Utara, Harli Patriatno, menjelaskan, sejak 2017 bersama MUI dan Kadin Toraja Utara, mereka mendorong hadirnya sertifikasi halal. Ada 12 rumah makan yang menurut MUI Toraja Utara sudah sesuai ketentuan yang berlaku, namun memang masih butuh pengembangan berikutnya.
Melihat data destinasi wisata dan upaya yang telah dilakukan pemerintah daerah selama ini, konsep program wisata Moslem Friendly dinilai punya potensi besar untuk dikembangkan. Sebagai tuan rumah, Toraja Utara dapat menyambut tamu wisatawan dengan ramah sesuai dengan kebutuhan fasilitas penunjang yang mereka butuhkan. Dalam hal ini termasuk masalah makanan.
"Bukan berarti kami di Toraja haram, tetapi bagaimana kita mempersiapkan fasilitas bagi tamu kita yang kebetulan muslim. Paling tidak, kita mendorong ada rumah makan bersertifikat halal MUI. Kemudian kita mempersiapkan untuk mushollah. Pengertiannya itu bagaimana kita menyambut mereka nyaman dan enak selama berkunjung," sebutnya.
Kadis Pariwisata pun menjelaskan, Pemda sudah menjalankan berapa tahun terakhir, tetapi mengusulkan agar penamaan lebih mudah diterima masyarakat serta pas dengan kearifan lokal. Program Moslem Friendly lebih mudah disosialisasikan dan diterima masyarakat saat ini.
"Kami usul konsep Moslem Friendly Tourism mungkin lebih pas digunakan Pak Wagub. Kami sudah jalan berapa tahun terakhir," harapnya.
Sejumlah kerabat mengarak patung dan jenasah saat prosesi ma'palao di Sa'dan, Rantepao, Toraja Utara, Senin (22/12)
Kepada Wagub, Kadis Pariwisata dan rombongan pun mengungkapkan, apa yang telah dan sedang direncanakan di Toraja ini, tidak seperti apa yang ramai beredar di medsos. Andi Sudirman pun mengaku sempat kaget, karena banyak statement beredar adalah hoaks, bukan dari dirinya.
Wagub pun mengaku menyerahkan sepenuhnya kepada Pemda Toraja selama itu baik untuk wisata di Toraja, termasung mendukung penuh konsep 'Moslem Friendly Tourism'.
Sementara, Penggagas Forum Pemuda Peduli Toraja Brikken Linde Bonting mengatakan, respons masyarakat Toraja beragam atas pernyataan dan rencana program Pemprov Sulsel terkait wisata halal. Menurutnya, hal itu menjadi persoalan karena yang disampaikan di media tidak runut dan lengkap.
"Masyarakat yang ada di perantauan maupun yang ada di Toraja, menjawab dengan pandangan-pandangan mereka," ujarnya.
Untuk memastikan, mereka pun bertemu langsung Wagub agar informasi dan tujuan sebenarnya tidak bias. Brikken membeberkan pertemuan berlangsung sejuk tanpa ada hal-hal yang tendensius. Walaupun secara pribadi ia mengaku sempat gelisah dengan polemik yang berkembang.
Pempov sendiri fokus pada pengembangan wisata Toraja. Adat dan budaya dan atraksi Toraja sebagai daya tarik sudah harga mati sebagai kearifan lokal yang tidak berubah. Saat ini yang digodok adalah adanya petunjuk spot-spot kebutuhan khusus untuk fasilitas dan kuliner ramah pengunjung muslim. "Tapi pemprov mendengar aspirasi untuk diputuskan oleh Toraja sendiri konsepnya," lanjutnya.
Ketua PHRI Torut, Yohan Tangkesalu, mengamini penggunaan istilah di Toraja untuk wisata Moslem Friendly mungkin lebih tepat meskipun wisata halal lebih dikenal. Tujuan utamanya tidak berubah sama sekali, bahwa yang dipenetrasi adalah kuliner dan fasilitas pendukung pendatang muslim.
Sejumlah kerabat mengarak patung dan jenasah saat prosesi ma'palao di Sa'dan, Rantepao, Toraja Utara.
"Jadi, kuliner yang dipenetrasi adalah kuliner Muslim, walaupun sebenarnya yang non sudah banyak juga terdaftar kuliner halal lewat MUI. Contohnya, adalah restoran besar Muslim yang sudah ada itu disertifikasi, bahwa memang memenuhi syarat, seperti dari pemotongan (hewan)," paparnya.
Yohan mengungkapkan, banyak pengunjung hotel ke lokasi wisata misalnya, terus harus kembali ke hotel karena belum makan dan kemudian berangkat lagi ke lokasi. Ini yang dianggap kurang nyaman.
Kepala Seksi Daya Tarik Wisata Sulsel, Takdir H Wata menjelaskan ada beberapa kasus yang kurang berkenan bagi pengunjung dalam penelitiannya selama ini. "Banyak pengunjung itu datang bingung makan dan shalat. Misalnya ke lokasi wisata masa harus balik ke penginapan dulu saat waktu makan dan shalat. Harapan kita bagaimana restoran representatif nantinya bisa dipublikasikan secara online. Serta ada peta /spot-spot fasilitas ibadah untuk kemudahan. Sehingga, yang ingin berkunjung ke Toraja, mengetahui tempat makan yang bisa menjadi pilihan mereka," ujarnya.
Misalnya, pada saat ke Lolai atau yang dikenal Negeri di Atas Awan, pengunjung harus turun dalam keadaan gelap gulita untuk shalat dan makan. Padahal momen menunggu awan pagi adalah daya tarik yang paling dicari.
Sedangkan, Kepala Bidang Pengembangan Destinasi dan Industri Pariwisata Provinsi Sulsel Djamila Hamid, menjelaskan bahwa konsep Moslem Friendly ini tidak akan mengubah kebiasaan dan budaya masyarakat setempat. "Mudah-mudahan masyarakat bisa menerima ini dan tidak ada lagi miss komunikasi," harapnya.
Diketahui, beberapa negara yang pariwisatanya maju juga mengaplikasikan konsep Moslem Friendly Destination. Seperti di antaranya Thailand, Jepang dan Korea Selatan.