Jumat 08 Mar 2019 07:47 WIB

Pandangan Yusuf al-Qaradhawi Soal Kafir dalam Bernegara

Non-Muslim mempunyai hak yang sama dalam hidup berbangsa dan bernegara.

Rep: Muhyiddin/ Red: Nashih Nashrullah
Umat Katolik melaksanakan misa malam Natal di Gereja Katedral, Jakarta, Senin (24/12).
Foto: Antara
Umat Katolik melaksanakan misa malam Natal di Gereja Katedral, Jakarta, Senin (24/12).

REPUBLIKA.CO.ID,  Polemik penggunaan kata kafir yang muncul sebagai hasil Musyawarah Nasional dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (NU) beberapa waktu lalu, pada dasarnya adalah diskursus lama bahkan kerap menjadi bahasan para cendekiawan Muslim lintas gerenasi.

Pandangan tentang posisi kafir dalam konteks berbangsa dan bernegara pun, tak luput dari sorotan Syekh Yusuf al-Qaradhawi. Tokoh kelahiran Mesir, yang kini menjabat sebagai Sekjen Aliansi Ulama Islam Dunia itu, memaparkan gagasannya tentang status orang-orang kafir dalam konteks hidup berbangsa dan bernegara itu, tertuang dalam mahakaryanya berjudul Ghair al-Muslimin fi al-Mujtama' al-Islami yang terbit  lebih dari satu dasawarsa itu. 

Baca Juga

Kitab tersebut dikarang Syekh Yusuf Qardhawi dengan berlandasan ilmu dan pikiran, serta berporoskan fikih dan sejarah. Kitab ini untuk mempersatukan umat beragama, bukan memecah belah.

Hubungan antara masyarakat antara sesama warga negara, antara Muslim dan non-Muslim ditegakkan sepenuhnya atas toleransi, keadilan, kebajikan dan kasih sayang.

 Qardhawi mengungkapkan bahwa landasan hubungan umat Islam dengan non-Muslim terdapat dalam Alquran surah al-Mumtahanah ayat 8-9, yang berbunyi:

"Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang tiada pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Allah hanya melarang kamu menjadikan kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama, dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu orang lain untuk mengusirmu dan membantu orang lain untuk mengusirmu. Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim." 

Berdasar ayat itu, menurut Qaradhawi, setiap Muslim dituntut agar memperlakukan semua manusia dengan kebajikan dan keadilan, walaupun mereka itu tidak mengakui agama Islam. Umat Islam harus adil kepada non-Muslim selama tidak menghalangi penyebaran Islam, tidak memerangi pengikutnya, dan tidak menindas para pemeluknya.  

Toleransi Islam yang tak ada bandingnya tersebut dikupas lebih tajam oleh Qaradhawi di bagian akhir buku ini. Dia mengungkap tentang praktik-praktik toleransi yang dilakukan dalam perdaban Islam. Bahkan, dia membagi toleransi (tasamuh) keagamaan atas beberapa peringkat.   

Dalam buku Qaradhawi ini, warga non-Muslim tidak disebut sebagai kafir, yaitu sebuah istilah yang baru-baru ini menjadi polemik di Indonesia. Tapi, dia menyebutnya sebagai ahludz-dzimmah atau dzimmiyyun (Orang-orang dzimmi), sebagaimana tradisi dalam Islam.  

Kata dzimmah berarti perjanjian, jaminan dan keamanan. Warga non-Muslim disebut demikian karena mereka memiliki jaminan perjanjian ('ahd) Allah dan Rasul-Nya serta jamaah kaum Muslimin, sehingga mereka bisa hidup dengan aman dan tentram di bawah perlindungan Islam dan dalam masyarakat Islam.  

"Jadi, mereka berada dalam jaminan keamanan kaum Muslimin berdasarkan 'akad dzimmah'," kata Qaradhawi.  

Akad dzimmah ini adalah akad yang berlaku selama-lamanya dan membolehkan non-Muslim tetap menganut agama mereka. Bahkan, mereka juga mendapatkan perlindungan dan perhatian dari jamaah kaum Muslim, dengan syarat ia membayar jizyah atau pajak per kapita. 

Dalam buku ini, Qaradhawi juga menjelaskan tentang kondisi hukum syariat bagi non-Muslim yang hidup di tengah mayoritas umat Islam, baik dari segi kewajiban mereka ataupun hak-hak mereka yang dijamin sepenuhnya oleh umat Islam.  

Di antara hak-hak non-Muslim tersebut adalah hak menikmati perlindungan negara Islam dan masyarakat Islami. Negara akan melindungi warga non-Muslim yang mendapat masalah di dalam negeri maupun di luar negeri, sehingga mereka merasa aman dan tentram.   

Perlindungan terhadap kezaliman dari luar negeri itu juga ditegaskan dalam salah satu kitab dalam mazhab Imam Hambali, yaitu  Mathalib Ulin-Nuha: "Seorang imam wajib menjadi keselamatan ahludz dzimmah dan mencegah siapa saja yang menganggu mereka."  

Sementara, perlindungan terhadap kezaliman yang berasal dalam negeri adalah sesuatu yang sangat diwajibkan. Islam memperingatkan kepada umat Islam agar jangan sekali-kali menganggu dan melanggar hak ahludz-dzimmah, baik dengan tindakan maupun ucapan.   

Terdapat banyak hadis yang secara umum mengharamkan kezaliman terhadap non-Muslim ahludz dzimmah. Salah satunya hadis yang diriwayatkan Abu Daud dan al-Baihaqi berikut ini. Rasulullah bersabda: 

"Barang siapa bertindak zalim terhadap seorang yang terikat perjanjian keamanan dengan kaum Muslimin atau memerangi haknya atau membebaninya lebih dari kemampuannya atau mengambil sesuatu darinya tanpa ridhanya, maka akulah yang akan menjadi lawan si zalim itu kelak di hari kiamat." 

Namun, setiap hak yang didapatkan warga non-Muslim di negara mayoritas Islam tersebut tentu harus diimbangi dengan kewajiban yang harus dilakukan. 

  

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement