REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi B DPRD DKI Jakarta Abdurrahman Suhaimi meminta Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta melakukan penghitungan yang tepat untuk menentukan tarif Moda Raya Terpadu (MRT) rute Lebak Bulus-Bundaran Hotel Indonesia (HI). Ia mengatakan, subsidi tarif MRT harus tepat sasaran untuk warga Ibu Kota.
"Harus kena sasarannya kepada masyarakat DKI. Itu uangnya rakyat, kembali kepada rakyat, tetapi harus dibatasi untuk warga DKI," kata Suhaimi saat dihubungi Republika, Ahad (10/3).
Menurut dia, besaran subsidi tarif MRT tak masalah, berapa pun nilainya. Bahkan, kata Suhaimi, tarif MRT bisa saja digratiskan bagi warga Jakarta sebagai public service obligation (PSO) atau kewajiban pelayanan publik.
Ia melanjutkan, hal tersebut bisa dilakukan selama Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) DKI mencukupi dan penggunaan subsidi itu tepat sasaran bagi warga Jakarta. Asalkan, lanjut dia, Pemprov DKI bisa melakukan perhitungan dengan jelas.
"Bagi saya, itu digratiskan saja untuk warga DKI dan kita subsidi. Bagi saya sebagai Ketua Komisi B, tidak keberatan asalkan hitung-hitungannya masuk," kata dia.
Suhaimi menyerahkan soal itu kepada Pemprov DKI melalui PT MRT sebagai operatornya. Menurutnya, bisa melalui regulasi ataupun aturan-aturan yang akan diberlakukan.
Ia juga meminta agar operator transportasi bisa memaksimalkan pendapatan dari segi bisnisnya. Seperti, pasang iklan di area komersial dan penyewaan tempat untuk berjualan.
"Soal hitung-hitungannya, nanti diajukan, misalnya, diajukan waktu perubahan atau yang kedua, dikembangkan dari sisi bisnisnya supaya bisa subsidi silang," kata dia.
Suhaimi menambahkan, apabila pemerintah pusat mau menggelontorkan subsidi untuk tarif MRT, itu akan lebih baik. Sehingga, tarif MRT yang akan diterapkan nantinya menjadi tarif nasional.
"Kalau pemerintah pusat mau menyubsidi sehingga menjadi harga nasional, siapa pun yang pakai itu juga lebih bagus," tutur dia.
Kemudian, Suhaimi mengatakan, pembahasan tarif MRT selanjutnya akan diselenggarakan dalam rapat gabungan. Rapat itu akan diikuti DPRD dari Komisi B dan C, Pemprov DKI, serta PT MRT.
Ia menyebut, setelah rapat pembahasan tersebut, tarif MRT akan dibawa ke rapat pimpinan (rapim). "Pasti nanti ada pembahasan, pasti nanti ada rapim, nanti kan yang memutuskan pasti melalui ketua juga kan," kata Suhaimi.
Anggota Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) Tory Darmantoro mengatakan, subsidi diperlukan untuk memastikan agar layanan transportasi umum memenuhi standar pelayanan minimum (SPM). Apalagi, lanjut dia, proses pembangunan MRT Jakarta juga dananya dibantu oleh pemerintah pusat. Sehingga, baik Pemprov DKI maupun DPRD DKI harus memberikan pelayanan moda transportasi umum yang terbaik bagi masyarakat.
Ia menekankan, yang perlu menjadi catatan, yaitu proses penentuan tarif angkutan umum di Jakarta. Menurut Darmantoro, penentuan tarif tersebut tak melibatkan DPRD DKI sejak awal. Padahal, Pemprov sendiri membentuk tim khusus untuk menentukan tarif.
Ia meminta agar selanjutnya Pemprov DKI mengajak DPRD untuk masuk ke dalam tim itu. Ia mengatakan, hal tersebut agar Pemprov dan DPRD memiliki pemahaman yang sama yang akan membuat proses penentuan tarif bisa lebih cepat dan tepat.
"Stakeholder penting, seperti DPRD yang sangat menentukan keputusan itu bilang bahwa perlu kajian lebih lanjut," jelas Darmantoro.
Sementara itu, pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah, mengatakan, APBD DKI Jakarta cukup untuk memberikan subsidi tarif MRT tersebut. Sebab, tarif moda transportasi menjadi kebutuhan dasar bagi warga Jakarta.
"Subsidinya terlalu tinggi, menurut saya, enggak masalah. APBD DKI kan memenuhi untuk itu, artinya cukup lah untuk menyubsidi. Ini kan kebutuhan dasar daripada masyarakat Jakarta," kata Trubus saat dihubungi Republika, Ahad.
Ia mengatakan, seharusnya DPRD tak mempermasalahkan jika penumpang MRT berasal dari luar Jakarta. Menurutnya, itu menjadi risiko yang harus ditanggung dari sebuah kebijakan membudayakan warga menggunakan transportasi umum di Jakarta.
"Kemudian, dewan mengatakan, itu berat, justru itu tugasnya dewan untuk membuat semuanya serba efisien," kata dia.
Apabila subsidi itu dinilai terlalu besar, kata Trubus, kewajiban Pemprov DKI mencarikan sumber lain untuk menyubsidi tarif tersebut. Caranya, dapat melalui dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) maupun segi bisnis dari operator transportasi.
Apalagi, lanjut dia, rute MRT Jakarta masih jarak dekat. Sehingga, masyarakat juga masih perlu melanjutkan perjalanan menggunakan moda transportasi lainnya. Ia mengatakan, keuntungan beroperasinya MRT Jakarta dalam jangka panjang.
Trubus mengatakan, dengan adanya moda transportasi MRT dan LRT, tujuannya mengatasi masalah kemacetan di Jakarta. Sehingga, kerugian ekonomi akibat kemacetan itu bisa dikurangi.
Namun, lanjut dia, jika tarif MRT nanti dinilai tinggi bagi warga, itu justru akan membebani mereka. "Kalau tarifnya terlalu tinggi, malah di luar kemampuan masyarakat, ini kan untuk masyarakat yang sifatnya massal," imbuh Trubus.
Salah satu warga Cilandak, Jakarta Selatan, Rezky Aprilia (29 tahun), berharap tarif MRT tak lebih dari Rp 10 ribu. Ia mengatakan, MRT Jakarta akan menjadi andalannya untuk berangkat kerja di kawasan Jakarta Pusat.
"Tarif Rp 10 ribu enggak apa-apa, itu juga karena MRT lebih cepat. Fasilitasnya juga harus lebih bagus dari angkutan lainnya," kata Rezky.