Sabtu 16 Mar 2019 09:40 WIB

Mahar Politik Picu Korupsi

Salah satu cara agar tidak ada mahar politik yaitu partai dibiayai negara

Red: Sammy Abdullah
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Agus Rahardjo memberikan pidato saat pembukaan diskusi bertajuk Korupsi dan Krisis Demokrasi di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (29/1/2019).
Foto: Antara/Reno Esnir
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Agus Rahardjo memberikan pidato saat pembukaan diskusi bertajuk Korupsi dan Krisis Demokrasi di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (29/1/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Praktik politik berbiaya tinggi dinilai menjadi salah satu penyebab maraknya korupsi yang dilakukan politikus. Karena itu, penting dilakukan terobosan untuk mengatasi praktik tersebut. Salah satu caranya dengan penghentian mahar politik. 

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo menceritakan, biasanya untuk menjadi bupati kisaran mahar yang dikeluarkan si calon bisa mencapai Rp 20 miliar bahkan Rp 50 miliar. Jika si calon itu terpilih, dengan gaji pokok bupati hanya Rp 5,7 juta per bulan tentu akan berat mengembalikan modal tadi.

"Oleh karena itu kan enggak ada orang yang secara sukarela menghibahkan itu, Rp 20 miliar sampai Rp 50 miliar ini besar juga. Oleh karena itu supaya pemilu yang murah tadi berjalan efektif, kita harus ada sanksinya (bagi yang korupsi)," kata Agus menceritakan soal mahar politik,  di Jakarta, Jumat (15/03).

Untuk itu, kata dia, salah satu cara agar tidak ada mahar politik yaitu partai dibiayai negara. Atau, di sisi lain, parpol membiayai sendiri kegiatan politiknya, dengan iuran dan subsidi antar kader. Ini seperti cara yang dipakai Partai Nasdem.