REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ignasius Jonan, mengusulkan agar tahun depan pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2020 skema subsidi diberikan kepada Pertamax. Jonan menjelaskan langkah ini lebih efektif dibandingkan saat ini mensubsidi Premium meski tidak memakai APBN dan menjadi beban Pertamina.
Jonan menjelaskan mensubsidi Pertamax jauh lebih efektif. Sebab, kata dia konsusmi negara sedang semangat untuk beralih ke energi bersih. Apalagi kata Jonan ada banyak program pembangunan kilang dengan standar Euro 4 yang sedang dilakukan Pertamina. Budaya masyarakat untuk memakai bahan bakar dengan kualitas lebih baik harus bisa didorong.
"Ke depan perlu dipertimbangkan soal sebaiknya kita memang mensubsidi bahan bakar yang beroktan tinggi saja. Misalnya pada APBN 2020 mendatang. Misalnya, subsidi ke Pertamax saja," ujar Jonan di DPR RI, Selasa (19/3).
Jonan juga menjelaskan nantinya Premium yang saat ini berada di harga Rp 6.450 dilepas saja sesuai dengan harga keekonomian Premium yang berada di angka kisaran Rp 7.000 per liter. Namun ia belum bisa merinci berapa besaran subsidi yang akan ditetapkan untuk Pertamax.
"Yang lain tidak di subsidi, jadi yang gunakan besar itu bahan bakar ramah lingkungan. Ini bahas, periode tahun selanjutnya APBN 2020," ujar Jonan.
Senada dengan Jonan, Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Gerindra, Kardaya Warnika menilai mensubsidi bahan bakar dengan kualitas lebih baik jauh lebih efisien ketimbang mensubsdi bahan bakar yang juga memilki dampak lingkungan yang buruk.
Kardaya mengatakan semangat subsidi Pertamax ini juga mendorong terciptanya energi bersih. "Kalau memang niatnya mau mendorong konsusmi masyarakat ke bahan bakar berkualitas, ya, yang disubsidi Pertamax saja misalnya," ujar Kardaya.
Namun disatu sisi, Pengamat Ekonomi CORE Indonesia, Moh. Faisal mengatakan salah satu alasan pencabutan subsidi bahan bakar dari postur APBN 2014 lalu adalah subsidi pantasnya diperuntukan bagi kelas menengah ke bawah untuk bisa menjaga daya beli. Usulan mensubsdi Pertamax, menurut Faisal tidak sesuai dengan semangat tersebut.
"Menurut saya kalau mensubsidi pertamax tidak sesuai dengan semangat pencabutan subsidi tahun 2014, karena semangatnya subsidi tidak diberikan kepada kalangan berpendapatan menengah - atas, sementara pertamax dikonsumsi oleh menengah atas," ujar Faisal kepada Republika.co.id Selasa (19/3).
Namun Faisal tak menampik langkah pemerintah yang akan menggeser alokasi subsidi dari Premium ke Pertamax akan menimbulkan pergeseran konsumsi bahan bakar. Namun, hal ini baru bisa terjadi jika memang harga Pertamax yang akan dilepas ke pasar meski melalui skema subsidi tidak lebih tinggi dari harga Premium saat ini yang dibandrol Rp 6.450 per liter.
"Yang jelas kalau harga jenis BBM yang termurah nantinya lebih tinggi dibanding harga premium saat ini, maka akan berdampak pada inflasi. Karena kalau tidak dikuatirkan akan berdampak pada daya beli masyarakat khususnya menengah bawah" ujar Faisal.
Ia juga menjelaskan tak hanya menjaga harga Pertamax sesuai dengan daya beli masyarakat agar cita cita ini tercapai, namun Faisal juga menilai rentang harga antara Premium, Pertalite dan Pertamax harus bisa disesuaikan dengan kondisi dan preferensi konsumsi masyarakat.
"Tapi mesti dilihat bagaimana perbandingan harga ketiga jenis BBM tersebut setelah pengalihan subsidi nanti, apakah harga Pertalite akan lebih murah DRPD Premium atau bagaimana? Karena harga paska pengalihan itu yang nanti akan mempengaruhi preferensi konsumen," ujar Faisal.