Senin 25 Mar 2019 12:15 WIB

Perempuan Nelayan di Demak Dapat Kartu Asuransi Nelayan

Kartu asuransi nelayan didapatkan setelah perjuangan selama 31 tahun

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Christiyaningsih
Para perempuan nelayan di Dukuh Tambakpolo Demak mendapatkan kartu asuransi nelayan, Ahad (24/3).
Foto: Republika/Adinda Pryanka
Para perempuan nelayan di Dukuh Tambakpolo Demak mendapatkan kartu asuransi nelayan, Ahad (24/3).

REPUBLIKA.CO.ID, DEMAK -- Setelah dua tahun berjuang, 31 perempuan nelayan di Dukuh Tambakpolo Demak mendapatkan kartu asuransi nelayan pada Ahad (24/3). Hasil ini didapatkan mereka melalui advokasi Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) bersama KIARA dan LBH Apik Semarang.

Mereka harus melewati proses panjang mulai dari perubahan identitas profesi dalam KTP yang dulunya ditulis sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT) menjadi nelayan. Proses itu memakan waktu selama sembilan bulan. Pada saat bersamaan, mereka juga harus melewati berbagai perlawanan dari para pemangku kebijakan dari tingkat lokal hingga provinsi untuk perubahan identitas profesi.

Sekjen PPNI Masnuah mengatakan 31 perempuan nelayan yang PPNI perjuangkan itu pernah ditertawakan oleh wakil rakyat di DPRD Jawa Tengah. Bahkan, salah satu wakil rakyat di DPRD Jawa Tengah sempat menyebutkan profesi perempuan nelayan nista karena sejatinya perempuan harus di rumah dan dimuliakan. "Itu adalah pemikiran yang salah," tuturnya.

Masnuah menjelaskan sebanyak 31 perempuan nelayan dari Dukuh Tambakpolo itu sudah melaut dari 30 tahun lalu. Hasil tangkap mereka dijual hingga Semarang namun tidak pernah sekalipun perempuan nelayan mendapatkan fasilitas negara.

Di sisi lain, pada Ahad (24/3) Puspita Bahari PPNI mampu mengakses bantuan bagi tiga kelompok perempuan pengolah terasi, fasilitas dua kelompok olahan laut mendapat cool box, serta fasilitas pelatihan dan peralatan sarana produksi dari CSR BUMN.

Masnuah mengatakan capaian yang didapat PPNI adalah potret pentingnya perempuan berorganisasi atau berkelompok. "Dengan cara itu kelompok perempuan bisa punya daya tawar dalam keputusan-keputusan publik," tuturnya.

Pusat Data dan Informasi KIARA mencatat perempuan nelayan memegang peranan penting dalam rantai produksi perikanan. Mereka memiliki andil besar mulai dari pra, produksi, hingga pascaproduksi dengan jam kerja melebihi 17 jam.

Sekjen KIARA Susan Herawati menjelaskan 31 perempuan nelayan bukan sekedar istri nelayan, tapi mereka adalah nelayan sejati. Mereka melaut dan memiliki peran penting baik di dalam ruang domestik maupun ruang publik.

Sayangnya, Susan mengatakan, Undang-Undang No 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam hanya mengakui kontribusi perempuan dalam rumah tangga nelayan. "Negara keliru melihat bagaimana perempuan nelayan selama ini berjuang sejajar dengan nelayan laki-laki dalam memastikan kebutuhan protein bangsa," katanya.

Hambatan lain yang didapatkan adalah asuransi. Menurut Susan, asuransi untuk nelayan perempuan itu mustahil kalau mereka tidak lebih dulu berorganisasi dan belajar bersama mengenali hak-hak ekonomi  maupun sosial budaya. Selain itu, di masyarakat dan pemerintah pun masih mempunyai paradigma bahwa nelayan harus laki-laki.

Hal ini juga yang disebut Susan sebagai spirit adanya PPNI. Karena itu, ia mengajak perempuan lain untuk berorganisasi. Sebab, berkelompok bagi perempuan di tengah masyarakat yang belum sepenuhnya adil gender adalah politik dan sangat diperlukan. "Tujuannya, agar perempuan bisa mengakses hak-haknya sama dan sederajat seperti warga negara lain dari kalangan laki-laki," ujarnya.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement