REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Diam Itu Emas? Ya, tetapi diam yang tidak berarti masa bodoh. Dalam Islam, ada imbauan tentang keutamaan diam, tetapi dengan catatan. Pada intinya, bila lisan tidak mampu memunculkan kebaikan, diam menjadi pilihan. Itulah isyarat ketika diam adalah emas.
Imam Suyuthi, penulis kitab Hasan as-Samat fi as-Shumti. Di dalam karya itu, Suyuthi menerangkan, tuntunan diam tidak bersifat mutlak. Artinya, hendaknya seorang Muslim berbicara, tetapi tetap dalam konteks kebaikan. Diamlah bila menyangkut keburukan atau topik-topik yang sesungguhnya tidak patut dibicarakan.
Itu sejalan dengan ajaran Nabi Muhammad SAW. Suatu ketika, Rasulullah SAW pergi bersama salah seorang sahabatnya, Mu’adz bin Jabal. Dalam perjalanan itu, Mu’adz bertanya, “Apakah amalan yang paling utama?”
Beliau menjawab berisyarat, menunjuk ke bibirnya. “Diam, kecuali dari (adanya) kebaikan.”
Suatu ketika, Rasulullah SAW juga bersabda, sebagaimana diriwayatkan Abu Hurairah. Kebijaksanaan terdiri atas 10 bagian. Sembilan di antaranya berasal dari mengasingkan diri (‘uzlah), sedangkan satu sisanya terdapat dari sikap diam.
Yang dimaksud bukanlah terus-menerus diam, melainkan secara proporsional. Simak hadis yang diriwayatkan Abdullah bin Mas’ud. Suatu ketika, seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, aku adalah orang yang paling ditaati di kaumku. Perintah apakah yang layak aku serukan kepada mereka?”
Rasulullah menjawab, “Serukan mereka menebar salam dan sedikit bicara kecuali berkaitan dengan perkara yang bermanfaat.”
Diam yang “emas” itu mendatangkan kebaikan dari sisi Allah Ta’ala. Hal itulah yang dinasihatkan oleh baginda kepada salah seorang sahabat, Abu Dzar al-Ghifari.
“Aku berwasiat untukmu (Abu Dzar) agar berakhlak baik dan tidak banyak bicara. Keduanya adalah amalan yang paling ringan untuk dilakukan, tetapi nilai pahalanya akan memberatkan timbangan perbuatan (baik) kelak di akhirat,” sabda Nabi SAW.
Demikianlah. Dia yang bertujuan menjaga lisan menjadi ibadah yang mulia.