REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- DPR dan masyarakat sawit Indonesia mendukung pemerintah yang mengancam akan keluar dari Kesepakatan Perubahan Iklim Paris (Paris Agreement). Di mana, ancaman itu dilontarkan Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan pasca keputusan Komisi Eropa yang menghapus sawit sebagai sumber biofuel pada 2023.
Anggota Komisi II DPR Firman Subagyo mengatakan bahwa Indonesia adalah negara berdaulat yang tidak bisa didikte oleh negara manapun di dunia ini. Pemerintah juga harus melindungi seluruh kekayaan yang ada dalam bumi Indonesia, termasuk di antaranya komoditas sawit.
Oleh karena itu, lanjutnya, kalau memang terjadi ancaman terhadap eksistensi sawit di Eropa, maka Indonesia harus bersikap. "Sikap kita ya tadi, kalau mereka boikot kita, ya kita bisa boikot (produk Eropa). Jangan kita diinjak-injak martabat kita, kita diam. Inilah sikap, walaupun terlambat sikap itu, saya memberikan apresiasi dan mendukung langkah pemerintah ini," ujar Firman, Senin (1/4).
Firman menegaskan bahwa dalam persaingan dagang minyak nabati antara Eropa dengan Indonesia, Eropa selalu menggunakan instrumen politik dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau non goverment organization (NGO). Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) Tungkot Sipayung mengatakan jika Uni Eropa tidak mengubah pandangannya yang selalu negatif dan diskriminatif terhadap sawit Indonesia, maka seluruh masyarakat sawit Indonesia mendukung ancaman pemerintah agar Indonesia keluar dari Paris Agreement.
Menurut dia, tak ada salahnya apabila Indonesia mengikuti langkah Amerika Serikat dan Brazil yang lebih dulu keluar dari Paris Agreement. "Tidak ada gunanya Indonesia bekerjasama dengan Uni Eropa jika tidak menghargai Indonesia, apalagi merugikan Indonesia. Sawit adalah Indonesia dan Indonesia adalah sawit. Industri sawit adalah industri strategis nasional harus dilindungi dan negara harus hadir," katanya.
Menurut Tungkot, ada beberapa LSM berkedok lingkungan yang selalu membela kepentingan Eropa untuk menghambat perdagangan sawit Indonesia. Padahal, keputusan Komisi Uni Eropa yang menghapuskan sawit sebagai bahan bakar biofuel, cenderung mendiskriminasikan komoditas dari negara berkembang.
"Mereka (LSM) itu seharusnya bilang ke Uni Eropa, jangan diskriminatif terhadap sawit. Ingatkan juga Uni Eropa supaya tidak meributkan emisi sawit yang kecil untuk menutupi emisi mereka sangat besar, katanya.
Sama seperti Firman, Tungkot juga mendukung pernyataan Menko Maritim yang mengancam keluar dari Paris Agreement. "Jika Indonesia hanya korban Paris Agreement, ya kita keluar seperti dilakukan Brazil dan USA. Sejak awal sebetulnya Indonesia tidak wajib ikut Paris Agreement karena emisi kita masih kecil," katanya.
Staf Khusus Menteri Luar Negeri RI Peter F Gontha mengatakan, Brazil keluar dari Paris Agreement demi mengembangkan perkebunan tebu untuk produksi biofuel etanol dan meningkatkan produksi daging melalui ternak sapi. Menurut dia, pelarangan penggunaan minyak sawit untuk biofuel di kawasan Benua Biru ini merupakan upaya Uni Eropa untuk memperbaiki defisit perdagangan terhadap Indonesia.