REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Pariwisata, Arief Yahya, mengeluhknya tingginya harga tiket pesawat yang masih berlangsung hingga saat ini. Ia menyatakan, mahalnya harga tiket sejak tiga bulan terakhir membuat kunjungan wisatawan domestik terhadap destinasi wisata lokal melesu.
“Penurunan kunjungan (wisatawan domestik) rata-rata 30 persen. Destinasi wisata sepeti Lombok yang kasihan karena baru saja jatuh akibat bencana alam,” kata Arief di Kementerian Pariwisata, Senin (8/4) malam.
Meskipun sejumlah maskapai mengklaim telah mulai menurunkan tarif pasca diminta oleh Kementerian Perhubungan, Arief mengaku belum ada efek nyata yang terasa. Sementara itu, komplain dari para wisatawan masih cukup besar. Pihaknya pun mendorong agar maskapai bisa membuka sub kelas tiket seperti dahulu.
Arief menegaskan, kenaikan tarif pesawat sejatinya bukan menjadi masalah jika dilakukan secara bertahap. Namun bukan dilakukan secara tiba-tiba, sebab hal ini menyangkut suatu ekosistem yang salin berkaitan hingga ke level pelaku usaha yang berada di kawasan destinasi wisata. Kondisi saat ini pun diperparah dengan kenaikan harga yang tiket yang lebih dari 100 persen untuk beberapa rute favorit.
“Kembalikan harga seperti semula, jangan melakukan kenaikan tarif terlalu besar dan mendadak kalau anda tidak ingin menghancurkan industri,” kata Arief.
Pada Maret lalu, Kementerian Perhubungan menerbitkan regulasi baru untuk mendorong penurnan harga tiket pesawat rute domestik. Hal itu dilakukan melalui kebijakan menaikkan tarif batas bawah maskapai agar penurunan harga bisa disesuaikan dengan kemampuan maskapai serta tidak memberatkan konsumen. Arief menilai, kebijakan itu sudah tepat dan harus segera direalisasikan maskapai.
Sejumlah pihak mengatakan, dampak dari tingginya harga tiket pesawat rute domestik membuat wisatawan domestik beralih untuk pergi ke tujuan wisata luar negeri. Namun, Arief mengaku belum mendapatkan data riil terkait hal itu.
Namun, ia menyampaikan sejauh ini wisatawan asal Indonesia yang berwisata ke luar negeri masih tidak lebih banyak daripada jumlah wisatawan mancanegara yang datang ke Indonesia. Secara rata-rata, jumlah kunjungan wisatawan mancengara selama setahun di atas 10 juta orang sedangkan wisatawan Indonesia yang ke luar negeri hanya sekitar 6-7 juta orang.
Dengan kata lain, devisa yang diperoleh Indonesia dari sektor pariwisata masih mencatatkan kinerja yang positif. “Bisa dilihat dari laporan Bank Indonesia. Devisa untuk pariwisata selalu surplus, tidak pernah tidak,” kata Arief.
Mengutip laporan Badan Pusat Statistik (BPS), selama Februari 2019 kunjungan wisatawan mancengara ke Indonesia mencapai 1,27 juta kunjungan atau naik 4,8 persen dibanding total kunjungan selama Januari 2019. Secara kumulatif, kunjungan wisatawan ke Indonesia kurun Januari-Februari 2019 mencapai 2,48 juta.
Adapun untuk rata-rata lama menginap tamu asing dan Indonesia pada hotel klasifikasi bintang di Indonesia mencapai 1,93 hari, turun 0,12 poin dibanding rata-rata menginap pada Januari 2019. Secara umum, lama menginap tamu asing masih lebih lama daripada tamu Indonesia.
BPS menyatakan, rata-rata lama menginap tamu asing mencapai 2,78 hari sedangkan tamu Indonesia hanya 1,79 hari.
Sementara itu, Direktur Niaga Garuda Indonesia, Pikri Ilham Kurniansyah, tak ingin banyak berkomentar. Namun, ia menekankan bahwa maskapai Garuda Indonesia akan mengikuti keputusan yang telah ditetapkan oleh Kementerian Perhubungan.
Ia pun berharap ke depan memperkuat kerja sama dengan para agen-agen konvensional penjualan tiket pesawat. Sebab, mayoritas pemasanan tiket pesawat Garuda Indonesia dilakukan melalui agen konvensional.