REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Skema Local Currency Settlement (LCS) menjadi opsi terbaru bagi importir dan eksportir Indonesia yang melakukan perdagangan dengan negara mitra kerja sama. Setelah bermitra dengan Thailand dan Malaysia, kini Indonesia meneken MoU LCS dengan Filipina.
LCS memungkinkan proses transaksi perdagangan bilateral menggunakan mata uang lokal. Direktur Departemen Internasional BI, Wahyu Pratomo mengatakan skema LCS menjadi pilihan tambahan bagi eksportir dan importir setelah opsi umum transaksi perdagangan menggunakan dolar Amerika Serikat.
Umumnya dalam transaksi perdagangan, mata uang negara asal akan dikonversi dulu ke dolar AS baru ke mata uang lokal tujuan. Dengan LCS, konversi dapat dilakukan langsung antar mata uang lokal, namun dengan syarat tertentu.
"Kini bisa tidak lagi misal rupiah-dolar-ringgit, tapi bisa langsung rupiah-ringgit," kata Wahyu dalam paparannya di kompleks Bank Indonesia, Selasa (9/4).
LCS memungkinkan transaksi dan konversi mata uang lebih efisien. Ia mengatakan LCS bisa berdampak signifikan pada menjaga stabilitas keuangan karena terkait dengan nilai tukar.
Selain transaksi perdagangan, ke depannya LCS juga akan diarahkan untuk investasi langsung. Meski demikian, untuk memuluskan skema ini, Bank Indonesia harus melakukan pelonggaran regulasi. Pada dasarnya konversi langsung belum memungkinkan karena peraturan bank sentral tentang non-internalisasi mata uang lokal.
"Artinya, mata uang lokal misal rupiah itu tidak boleh diperdagangkan di luar negeri karena khawatir jadi alat spekulasi nilai tukar rupiah," kata dia.
Sehingga, konversi langsung dengan negara mitra LCS bersifat terbatas. Skema hanya boleh dilakukan melalui lima bank yang ditunjuk oleh masing-masing bank sentral negara yang bekerja sama. Misal dengan Malaysia, BI menunjuk enam bank dan dengan Thailand ada lima bank.
Skema LCS dengan dua negara tersebut sudah dilakukan sudah berjalan sejak 2018. Wahyu menyampaikan capaian volume transaksinya memang belum signifikan namun diharapkan bisa terus bertumbuh seiring dengan perkembangan waktu.
Dengan Thailand, transaksi LCS mencapai 50 juta dolar AS sepanjang 2018. Untuk triwulan satu jumlahnya sudah 10 juta dolar AS. Dengan Malaysia, jumlahnya lebih besar sepanjang tahun 2018 yakni 130 juta dolar. Pada triwulan satu jumlahnya sudah 50 juta dolar AS.
"Walaupun masih sekitar satu persen dari volume perdagangan, namun ini menjadi opsi yang memungkinkan," kata Wahyu.
Dengan tambahan mitra yakni Filipina, diharapkan skema LCS bisa lebih populer dan memiliki efek bola salju. Terobosan tersebut, tambahnya, bukan dimaksudkan untuk menggantikan dolar AS melainkan hanya tambahan pilihan bagi pelaku usaha.
"Kami juga punya studi bahwa penerapan ini bisa berdampak signifikan, ketika ada kejadian gonjang ganjing capital outflow yang dalam bentuk dolar maka tidak akan terlalu mengganggu stabilitas keuangan di kawasan," katanya.
Deputi Direktur Departemen Internasional BI, Haris Munandar menambahkan, skema LCS memang dibuat berdasarkan potensi keuntungan secara komersil untuk pelaku usaha. Ada kemungkinan importir dan eksportir mendapat margin (spread) yang lebih menguntungkan dibandingkan jika konversi ke dolar dulu.
Meski demikian, potensi-potensi seperti ini belum terkonfirmasi dan populer. Haris mengatakan perlu waktu untuk melihat hasilnya karena skema masih baru. Selain itu, negara lain belum berminat karena sudah nyaman dengan skema yang ada.
Haris menambahkan empat negara yang sudah implementasi LCS sedang membuat panduan penerapan agar dapat disebarkan ke negara ASEAN lain. Diharapkan panduan tersebut akan selesai pada akhir tahun sehingga dapat ditularkan.