REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA— Menteri luar negeri Turki pada Selasa (9/4) mengatakan peningkatan konflik di Libya baru-baru ini mesti ditangani melalui dialog bukan agresi militer.
"Persatuan dan solidaritas Libya mesti dijamin melalui konferensi yang diselenggarakan oleh PBB, bukan dengan campur-tangan militer," kata Mevlut Cavusoglu dalam satu taklimat bersama timpalannya dari Qatar Mohammed bin Abdulrahman bin Jassim Ath-Thani, sebagaimana dikutip Kantor Berita Turki, Anadolu, Rabu (10/4).
Pada Kamis lalu (4/4), Jenderal Khalifa Haftar, komandan militer yang berpusat di Libya Timur, melancarkan operasi militer dengan tujuan yang ambisius yaitu mereka ingin menguasai Ibu Kota Libya, Tripoli, tempat Pemerintah Persatuan Nasional, yang didukung PBB, bermarkas. Namun setelah keberhasilan awal, aksi militer tersebut pada Senin (8/4) tampaknya telah kehilangan momentum.
Libya dirongrong kerusuhan sejak 2011, ketika aksi perlawanan berdarah yang didukung NATO mengakibatkan tergulingnya dan tewasnya orang kuat negeri itu Muammad Gaddafi setelah empat dasawarsa memangku jabatan.
Sejak itu, perpecahan politik tajam di negeri tersebut telah mengakibatkan munculnya dua pemerintah; satu di Kota Benghazi di Libya Timur, yang bersekutu dengan Jenderal Haftar, dan satu lagi di Tripoli, yang mendapat dukungan PBB.