Jumat 12 Apr 2019 05:01 WIB

Pertaruhan dan Pertarungan Kredibiltas Partai Islam

Masih ada waktu bagi partai Islam untuk berbenah

Partai Islam
Partai Islam

Oleh: Beggy Rizkiyansyah, Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa

Kabar itu mengguncang panggung politik seperti petir di siang bolong. Romahurmuziy, Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang menjadi koalisi Capres Joko Widodo ditangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 15 Maret lalu. Ia ditangkap atas dugaan terlibat praktek suap suap seleksi jabatan di Kementerian Agama. 

Tentu saja kabar ini mengguncangkan panggung politik. Bukan saja karena ia menjadi pendukung setia Calon Presiden Joko Widodo, tetapi juga karena ia adalah ketua umum Partai. Jejak Romi sendiri dipentas politik bukan baru, meski ia tergolong darah muda. Kakeknya adalah Mantan Menteri Agama, K.H. Wahib Wahab. Ayahnya, K.H. Tochlah Mansoer pernah menjadi politis Partai NU.

Romahurmuziy, nama yang sama dengan dari nama ulama hadist terkemuka asal Iran, kini sayangnya harus tercoreng. Meski azas praduga tak bersalah masih harus dikedepankan, kenyataannya tak mudah bagi politisi manapun lepas dari jeratan Operasi Tangkap Tangan KPK.

Kasus Romi setidaknya harus menjadi peringatan bagi kita bersama. Terlepas dari dukungannya kepada calon Presiden petahana, kasus Romi juga suka tidak suka menjadi lampu kuning bagi partai Islam di panggung politik tanah air. Sudah dua Ketua Partai Islam yang setidaknya menjadi terpidana kasus korupsi, yaitu Luthfi Hasan Ishaaq dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Suryadharma Ali, yang juga dari PPP.

Setiap kasus memang memiliki penyebab dan delik yang berbeda-beda. Namun berbagai kasus korupsi yang melibatkan ketua partai Islam tetap saja membentuk persepsi negatif terhadap partai Islam di dalam benak masyarakat.

PPP sendiri meski bukan partai Islam terbesar dan pertama, tetapi setidaknya memiliki legacy tersendiri dalam pentas politik tanah air. PPP adalah buah dari eksistensi dan perjuangan partai Islam mengarungi politik otoritarian rezim Orde Baru. Fusi partai-partai Islam yang dipaksakan oleh rezim Orba nyatanya mampu menyatukan kembali partai-partai Islam yang pernah terpecah-pecah.

PPP memberi kejutan dengan meraup suara yang cukup meyakinkan pasca dilebur pada tahun 1973. PPP juga menjadi suara lantang terhadap berbagai kebijakan Orde Baru khususnya yang bersinggungan dengan umat Islam, seperti penerapan P4 dan upaya rezim orba memberi status lebih pada aliran kepercayaan.

PPP nyatanya juga mampu eksis meski diintervensi oleh rezim orba dengan memplot Djaelani Naro sebagai ketuanya. Keluarnya faksi NU dari PPP memang membuat PPP terhuyung-huyung pada tahun 1980-an. Namun karena kehadirannya sebagai partai Islam satu-satunya, membuat PPP tetap eksis hingga rezim itu terjengkang pada tahun 1998.

Angin reformasi yang membuka pintu bagi munculnya partai-partai Islam lainnya, tak membuat PPP tenggelam. Setidaknya PPP masih mampu bertahan menjadi partai menengah hingga Pemilu 2014. Meski demikian, pelan tapi pasti, kita melihat senjakala pada PPP.

PPP bukan saja diguncang kasus korupsi para politisi pentingnya secara berturut-turut, mulai dari Mantan Menteri Sosial, Bachtiar Chamsyah, Ketua Partai yang juga mantan Menteri Agama, Suryadharma Ali, hingga Romahurmuziy. Hal ini juga membuat partai terbelah sejak lengsernya Suryadharma Ali hingga mewariskan kubu Djan Faridz dan Romahurmuziy.

PPP juga seperti tersandera oleh politik penguasa. Hal ini seperti yang ditunjukkan Tom Power (2018) yang menyebut Kementerian Hukum dan HAM mengintervensi dualisme di PPP dan memaksa mereka bergabung dengan pemerintah. Alih-alih menjadi partai yang bersuara mewakili umat Islam, PPP malah seperti mengidap Stockholm Syndrome. Sindrom yang menunjukkan anomali ketika orang yang disandera malah akhirnya bersimpati (berpikir) seperti penyanderanya.

Berbagai kasus yang membelit PPP sudah sepantasnya menjadi perhatian partai-partai Islam beserta umat Islam pemilihnya. Saat ini setidaknya ada 5 partai yang bisa kita kategorikan partai berazaskan, mengusung nilai Islam dan berbasis massa Islam. PPP yang berazaskan Islam (AD-ART, 2016), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang mengusung nilai Ahlussunnah wal Jama’ah (AD-ART, 2014), Partai Keadilan Sejahtera PKS yang berazaskan Islam, Partai Bulan Bintang (PBB) yang berazaskan Islam (AD, 2015) dan terakhir, Partai Amanat Nasional (PAN) yang meski berdasarkan Pancasila dan berazaskan akhlak politik yang berlandaskan agama yang membawa rahmat bagi sekalian alam (AD, 2010), tampak jelas basis massa PAN sebagian besar umat Islam.

Kecuali PBB, Keempat partai Islam lainnya pada Pemilu 2014 mampu berada dalam delapan besar dan mampu meraih 175 kursi di DPR (29,95% suara dalam pemilu). Sebagai perbandingan, PDIP, dalam pemilu yang sama mampu meraih 18,95% suara. Satu nilai yang kurang menggembirakan bagi partai-partai Islam. Apalagi jika melihat hasil survei misalnya Litbang Kompas (2019) yang menyebutkan hanya PKS (4,5%) dan PKB (6,8%) yang diprediksi mampu lolos ambang batas electoral threshold.

Partai-partai di Indonesia saat ini memang diliputi beban berat. Sistem pemilihan secara langsung memaksa politisi dari partai manapun untuk menemui masyarakat secara langsung. Hal ini memerlukan biaya yang besar, mulai dari alat peraga kampanye, membangun sarana-sarana fisik, bahkan termasuk fee untuk pakar marketing politik. (Leo Agustino & Muhammad Agus Yusof: 2018) Diluar itu banyak yang tegoda untuk biaya politik bagi-bagi uang seperti ‘serangan fajar.’

Beban tinggi semacam ini memaksa para politisi mencari investor politik untuk membiayai berbagai biaya tadi. Para investor dijanjikan imbal balik berupa hak-hak istimewa baik perlindungan politik maupun ekonomi. Apalagi jika menyangkut pemilihan kepala daerah. Konsesi sumber daya alam (SDA) adalah bancakan yang luar biasa tinggi nilainya. Menurut Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), menjelang pilkada 2018, ada 171 izin tambang di berbagai daerah diobral. 120 izin saja terdapat di Jawa Tengah. (JATAM: 2018)

Maka tak heran jika para partai menjadi begitu pragmatis. Mereka menoleh pada figur-figur yang dapat dijadikan mesin pendulang suara. Termasuk para selebriti yang mendadak menjadi politisi tanpa bekal apapun kecuali popularitas. Di lain sisi, para politisi pun menjadi amat pragmatis dan melihat partai politik hanya sekedar tunggangan untuk kepentingan sesaat. Jika sudah tak mampu memenuhi hasrat sang politisi, maka fenomena kutu loncat politik menjadi pilihan. (Burhanudin Muhtadi: 2013)

Partai sekedar alat nir-ideologis mencari kekuasaan. Padahal ideologi merupakan pondasi yang penting dalam politik Ideologi bagi satu partai mencakup satu identitas tertentu.Begitu pula bagi pemilih. Perasaan seseorang bahwa partai tertentu adalah identitas politiknya (party-ID) menurut Burhanudin Muhtadi (2013) dapat menjadi faktor penting. Party-ID merupakan komponen psikologis yang akan memberikan sumbangan stabilitas dukungan terhadap partai dan sistem kepartaian yang bisa memperkuat demokrasi itu sendiri.

Rasa kepemilikan yang kuat terhadap satu partai dengan sendirinya mampu mengurangi terjadinya praktek politik uang. Jika Identifikasi pemilih terhadap suatu partai tinggi maka semakin kecil sikap penerimaannya terhadap praktik politik uang. Sebaliknya, pemilih yang pragmatis dan tak memiliki loyalitas terhadap suatu partai akan lebih mudah tegoda politik uang.

Seorang mantan anggota DPR dari PPP periode 1999-2004, pernah bercerita pada penulis, di pemilu masa lalu, ia tak terbebani dengan segala macam urusan biaya. Jika berkampanye, maka pendukung partainya akan bergotong royong membuat alat peraga dan kegiatan kampanye. Hal ini menurutnya terjadi karena mereka merasa memiliki partai tersebut.

Sayangnya, hal itu sudah tidak terlihat lagi saat ini. Satu survei dai Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada 2017 menyebutkan bahwa hanya 1 dari 10 pemilih di Indonesia yang memiliki kedekatan dengan partai.

Pragmatisme pemilih tentu saja tak terlepas dari kondisi politik saat ini yang miskin ideologi. Ketika parpol tak lagi jelas ideologinya, maka pemilih pun sulit mengidentifikasi partainya. Dan Parpol tak lagi menjadi institusi yang memberikan pendidikan politik, karena mereka hanya memiliki dukungan suara yang tak loyal, bukan lagi kader yang memiliki Party-ID.

Jika saja kita mau berkaca pada salah satu pemilu tersukses di Indonesia, yaitu Pemilu 1955, maka kita akan menemukan satu hal yang menarik. Beberapa partai mampu berkampanye dengan mengeluarkan biaya tinggi karena memiliki dukungan finansial dari para kader dan simpatisannya.

Kajian Herbert Feith (1957) terhadap Pemilu 1955 misalnya menyebutkan bahwa Partai Masyumi memiliki sokongnan dana dari para pendukungnya yang merupakan pengusaha lokal termasuk pengusaha batik. Begitu pula partai yang dikenal memiliki sistem kaderisasi yang berjalan lancar seperti Partai Komunis Indonesia (PKI). Partai tersebut memiliki sokongan dana dari para pendukungya. Hal ini terjadi karena partai – partai itu adalah partai yang jelas ideologinya. Maka para pendukung mereka bukan pendukung pragmatis, melainkan pendukung yang memiliki Party-ID.

Pembangunan kembali ideologi dapat dimulai oleh partai-partai Islam di masa kini. Sebab mereka memiliki azas yang spesifik, yaitu Islam. Islam dapat menjadi pemandu bagi visi dan program yang khas dan tidak terjebak pada persoalan ‘identitas’ semata. Sebaliknya, ideologi Islam yang dianut partai mampu memberi solusi atas berbagai persoalan, mulai dari keadilan sosial hingga lingkungan.

Partai Islam yang ideologis juga dapat mulai menggalakkan pendidikan-pendidikan politik yang terencana bagi para kadernya. Bukan lagi sekedar mengumpulkan massa menjelang pemilu. Pendukung menjadi sebuah ‘jamaah’ ketimbang kerumunan. Pendukung yang loyal juga akhirnya mampu memberikan kontribusi finansial bagi partai dan menghindarkan partai dari jebakan penyimpangan moral akibat politik berbiaya tinggi.

Masih ada waktu bagi partai Islam untuk berbenah, mengorientasikan kembali haluannya menjadi partai ideologis ketimbang pragmatis. Sehingga tak perlu lagi kita melihat ketua-ketua partai berbaju oranye akibat menjadi makelar kepentingan.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement