REPUBLIKA.CO.ID, KABUL -- Taliban akan melibatkan peran perempuan untuk pertama kalinya menjelang putaran terakhir pembicaraan perdamaian Afghanistan, yang berlangsung di Doha, Qatar 19-21 April 2019. Taliban yang dikenal sangat konservatif terhadap hak-hak perempuan, telah mengambil langkah tersebut untuk mengatasi tuntutan agar perempuan dilibatkan dalam pembicaraan perdamaian tersebut.
"Akan ada keterlibatan perempuan di antara anggota delegasi Taliban dalam pertemuan di Doha, Qatar," ujar juru bicara utama Taliban, Zabihullah Mujahid dalam sambungan telepon, Selasa (16/4).
Muhajid tidak menyebutkan jumlah perempuan yang ikut dalam pembicaraan perdamaian tersebut. Namun, dia memastikan perempuan yang terlibat tidak memiliki hubungan keluarga dengan anggota senior Taliban.
"Para perempuan ini tidak memiliki hubungan keluarga dengan anggota senior Taliban. Mereka adalah orang Afghanistan, dari dalam dan luar negeri yang telah menjadi pendukung dan bagian dari perjuangan Islamic Emirate," kata Mujahid.
Dalam Twitter-nya, Mujahid mengatakan, para perempuan tersebut akan bergabung ketika berdiskusi dengan masyarakat sipil Afghanistan dan perwakilan politik. Mereka tidak akan terlibat dalam negosiasi utama dengan para pejabat Amerika Serikat (AS).
Afghanistan tetap menjadi negara yang sangat konservatif, terutama di daerah pedesaan. Namun, ada kemajuan besar dalam hak-hak perempuan sejak pemerintah Taliban digulingkan pada 2001. Sebagian besar perempuan di Afghanistan merasa takut jika kelompok Taliban kembali mendapatkan kekuasaannya karena hak-hak perempuan telah dirampas di bawah kepemimpinan Taliban.
Ketika berkuasa pada era 1990-an, Taliban memaksa perempuan menggunakan cadar yang menutupi wajahnya secara penuh. Selain itu, mereka juga melarang anak perempuan sekolah dan bekerja di luar rumah.
Namun, seiring dengan berjalannya waktu, Taliban telah memberikan hak-hak perempuan. Misalnya, mendorong pendidikan bagi anak perempuan dan hak-hak perempuan lainnya dalam batasan syariah Islam.
Kelompok-kelompok masyarakat sipil, pemerintah yang didukung Barat dan mitra internasional Afghanistan mendesak adanya keterlibatan negosiator perempuan dalam kelompok Taliban untuk pembicaraan damai. Mantan anggota parlemen yang mengambil bagian dalam pertemuan di Moskow, Fawzia Koofi mengatakan, keterlibatan perempuan di kubu Taliban merupakan sebuah langkah baik.
“Hanya perempuan yang bisa merasakan rasa sakit dan kesedihan yang diderita oleh perempuan-perempuan Afghanistan lainnya. Kehadiran perempuan di antara negosiator Taliban menunjukkan ideologi Taliban telah berubah," ujar Koofi.
Anggota Komite Layanan Bersenjata Senat AS, Jeanne Shaheen mendesak adanya peran perempuan dalam pembicaraan damai. Dukungan internasional di masa depan untuk Afghanistan dapat dipengaruhi apakah hak-hak perempuan dihormati dengan baik dalam penyelesaian apa pun.
"Saya pikir jika Taliban ingin mendapatkan dukungan internasional, itu akan menjadi kepentingan mereka untuk mengakui pentingnya menyertakan perempuan dan termasuk hak asasi manusia sebagai bagian dari penyelesaian yang terjadi," kata Shaheen.
Utusan perdamaian khusus AS, Zalmay Khalilzad mengatakan belum menentukan tanggal putaran pembicaraan damai berikutnya dengan Taliban. Untuk saat ini, perundingan baru antara AS dan Taliban belum dijadwalkan.
"Sebelum melakukan pembicaraan tambahan, kami berharap dapat mengetahui hasil dari dialog intra-Afghanistan," ujar Khalilzad.
Khalilzad adalah seorang diplomat veteran kelahiran AS di Afghanistan. Dia sedang berupaya untuk mengamankan kesepakatan dengan Taliban terhadap penarikan pasukan AS.
Hal ini merupakan langkah untuk mencegah Alqaidah dan ekstremis lainnya menggunakan Afghanistan sebagai batu loncatan untuk serangan, gencatan senjata dan pembicaraan antar-Afghanistan yang termasuk pemerintah di masa depan politik negara itu. Sementara, Taliban menolak pembicaraan resmi dengan pemerintah, yang mereka anggap sebagai rezim "boneka" yang dikendalikan oleh AS.
Pertemuan pada 19-21 April 2019 di Doha akan dihadiri oleh Taliban dan delegasi lain yang terdiri dari orang-orang Afghanistan terkemuka, termasuk politisi oposisi dan aktivis masyarakat sipil.