REPUBLIKA.CO.ID, TRIPOLI -- Empat orang tewas dalam penembakan di Tripoli, ibu kota Libya. Hampir dua pekan Tentara Nasional Libya (LNA) yang dipimpin veteran Jenderal Khalifa Haftar melancarkan serangan ke Tripoli untuk merebut kekuasaan dari pemerintahan yang diakui masyarakat internasional.
Upaya Haftar terhenti di sebelah selatan Tripoli. Mereka bertempur dengan pasukan bersenjata yang setia kepada pemerintahan Tripoli. Tapi pada Selasa (16/4) malam terdengar suara tembakan yang disertai ledakan di selatan distrik Abu Salim.
Suara ledakan itu terdengar sampai pusat kota Tripoli, wilayah yang sampai saat ini belum tersentuh kekerasan. Juru bicara badan unit darurat Tripoli Osama Ali mengatakan tembakan artileri tersebut setidaknya menewaskan dua orang dan melukai delapan orang lainnya.
Ali tidak menyebutkan siapa yang melepaskan tembakan. Kepada stasiun televisi Alahrar, seorang pejabat pemerintah Tripoli lainnya mengatakan ada empat orang yang tewas dan 20 orang yang terluka dalam penembakan tersebut.
Distrik Abu Salim berada di dekat jalan menuju bandara lama di sebelah selatan Tripoli. Sebuah bandara yang beberapa kali pindah tangan sejak LNA melancarkan serangan. Abu Salim terletak di sebelah utara pasukan yang setia kepada Tripoli. Pasukan itu berusaha menghentikan LNA masuk ibukota lewat jalur selatan.
Pasukan yang bersekutu dengan pemerintahan Tripoli menuduh LNA menembakkan rudal ke rumah-rumah warga. Tapi dalam pernyataannya LNA mengatakan mereka sama sekali tidak terlibat dalam penembakan itu dan menuduh balik pemerintahan Tripoli.
Ketika rudal dijatuhkan, Dewan Keamanan PBB mempertimbangkan resolusi yang dirancang di Inggris. Resolusi tersebut meminta kelompok yang bertikai di Libya untuk melakukan gencatan senjata dan meminta setiap negara yang memiliki pengaruh untuk memastikan kelompok-kelompok itu mematuhi resolusi tersebut.
Negara-negara Besar khawatir dengan pertempuran yang terjadi di Libya. Tapi mereka tidak mampu menciptakan persatuan di negara tersebut setelah diktaktor Moammar Gaddafi digulingkan pada tahun 2011 lalu.
Berdasarkan data terakhir PBB konflik terbaru ini telah menewaskan 174 orang, melukai 756 orang dan membuat 20 ribu mengungsi dari rumah mereka. Serangan LNA membuat rencana konferensi perdamaian yang digagas PBB dibatalkan.
Konflik ini juga mengancam akan mengganggu pasokan minyak, meningkatkan imigrasi lintas Laut Mediternania dan membuka kesempatan teroris untuk memanfaatkan kekacauan. Qatar mengatakan embargo senjata PBB terhadap Libya harus diberlakukan dengan ketat untuk mencegah Haftar mendapatkan senjata.
Haftar mendapatkan dukungan dari Mesir, Uni Emirat Arab dan Arab Saudi. Negara-negara itu melihat Haftar dapat menstabilkan dan memerangi teroris di Libya.
Pada tahun 2017 lalu ketiga negara itu sudah memotong hubungan mereka dengan Qatar. Menurut mereka Qatar mendukung terorisme dan Iran.
Kepada surat kabar Italia La Repubblica, Menteri Luar Negeri Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulrahman al-Thani mengatakan forum perdamaian PBB yang tertunda harus dijadwalkan kembali. Ia juga meminta pasukan Haftar untuk segera menarik diri.
"Embargo senjata harus diimplementasikan untuk mencegah negara-negara yang menyediakan amunisi dan senjata canggih terus melakukannya," kata al-Thani.
Dalam laporan-laporan PBB sebelumnya disebutkan Uni Emirat Arab dan Mesir sama-sama memasok senjata dan pesawat ke Haftar. Membuatnya lebih unggul dibandingkan faksi-faksi Libya lainnya. Pemerintah Libya Timur mengatakan Qatar dan Turki mendukung saingan mereka, faksi yang berhaluan Islam di sebelah barat Libya.