REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Baitul Wakaf sebagai lembaga resmi yang fokus mengelola wakaf menggelar Seminar Wakaf bertajuk “Seminar Wakaf Era 4.0” di Hotel Sofyan Tebet, Jakarta Selatan, Kamis (2/5).
“Seminar ini sekaligus sebagai tanda diluncurkannya Baitul Wakaf sebagai lembaga pengelola wakaf yang legal menurut perundang-undangan yang berlaku,” terang Direktur Baitul Wakaf, Rama Wijaya, dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Kamis (2/5).
Seminar wakaf itu menampilkan nara sumber Wakil Ketua Badan Wakaf Indonesia (BWI) Dr Yuli Yasin, MA; Pembina Baitul Wakaf, Asih Subagyo; dan Chief Marketing & Philantrophy Officer Amanah Fintech Syariah, Bambang Cahyono.
Dalam paparannya, Yuli Yasin menjelaskan, aset wakaf di Indonesia sangat besar. Namun belum diikuti oleh pemahaman yang memadai sehingga wakaf di Indonesia belum memiliki kemanfaatan yang lebih luas.
"Kita memiliki aset tanah wakaf yang begitu besar, 355.549 lokasi. Dari sekian ratusan ribu lokasi, ada 46 ribu hektar. Jadi bisa dibayangkan kalau kita uangkan berarti akan mendapatkan berapa triliun. Ini merupakan aset yang sangat besar,” ucapnya.
“Hanya saja pengetahuan atau wawasan masyarakat Indonesia, mereka hanya ingin berwakaf mendapatkan pahala tapi tidak mutakhir pengetahuan tentang fiqh wakafnya. Jadi aset wakaf yang ratusan ribu lokasi itu kebanyakan berupa masjid, kemudian berupa makam. Atau paling banter, paling keren, ya, berupa madrasah atau sekolah. Tidak ada wakaf dalam bentuk real estate, ruko, bahkan berupa sawah, artinya hal-hal yang dapat menghasilkan, itu sangat kecil persentasenya,” imbuhnya.
Wakil Ketua Badan Wakaf Indonesia (BWI), Dr Yuli Yasin MA membahas tentang aset, potensi dan optimalisasi dana wakaf di Indonesia.
Berbeda halnya dengan negara-negara Timur Tengah yang sudah sangat maju dan modern di dalam pengelolaan wakaf. “Mereka sudah merambah produksi makanan, real estate, tekstil, bahkan hotel serta sektor-sektor produktif lainnya,” tuturnya.
Sementara itu, Asih Subagyo menguraikan perihal betapa pentingnya wakaf terus digerakkan potensinya menjadi kekuatan riil umat. "Ketika kita bicara wakaf sebagai kekuatan ekonomi umat, butuh integrasi kebijakan ekonomi umat. Ini butuh nadzir (pengelola wakaf) yang profesional. Jadi, tidak mungkin wakaf akan berjalan dengan baik jika kemudian tidak menjadi sebuah gerakan. Problemnya, wakaf di Indonesia belum menjadi gerakan. Di sini kita perlu menggerakkan potensi semua lini, mulai dari ulama-ulama kita, dai dan lain sebagainya. Coba cek hari Jumat, ada berapa khotib yang khutbah tentang wakaf? Belum banyak," urainya.
Chief Marketing & Philantrophy Officer Amanah Fintech Syariah, Bambang Cahyono mendorong agar edukasi wakaf dapat diarahkan kepada generasi milenial yang dalam 24 jam hidupnya tidak lepas dari koneksi internet.
“Caranya bukan bagaimana memasarkan wakaf kepada milenial, tapi bagaimana memasarkan wakaf bersama millenial. Artinya mengenali keadaan mereka, kehidupan mereka, dan lain sebagainya. Mereka tak bisa diajak ‘ayo wakaf, ayo sedekah’. Ini karena tipe milenial itu memang tidak sama dengan era sebelumnya, yang belum begitu gandrung dengan gadget,” ungkapnya.