Jumat 03 May 2019 19:48 WIB

Dewan Transisi Militer Sudan Tolak Pemerintahan Sipil

Pengunjuk rasa menuntut kekuasaan di dewan transisi yang dikuasai militer.

Rep: Lintar Satria / Red: Nur Aini
Demonstrasi di Khartoum, Sudan pada 15 April 2019.
Foto: AP Photo/Salih Basheer
Demonstrasi di Khartoum, Sudan pada 15 April 2019.

REPUBLIKA.CO.ID, KHARTOUM -- Pejabat tinggi Dewan Transisi Militer Sudan mengatakan tidak akan membiarkan sipil menguasai dewan tertinggi yang akan membentuk pemerintahan selama masa transisi. Letnan Jendral Salah Abdelkhalek mengatakan pembagian keanggotaan yang sama mungkin akan dipertimbangkan para pengunjuk rasa. 

"Ini garis merah, mungkin setengah dan setengah," kata Abdelkhalek kepada BBC Newsday, Jumat (3/5).  

Baca Juga

Sesuai dengan permintaan pengunjuk rasa pada 11 April lalu militer Sudan menggulingkan Presiden Omar al-Bashir yang sudah berkuasa selama 30 tahun. Tapi para pengunjuk rasa masih duduk di luar markas militer. Mereka menuntut kekuasaan di dewan yang kini dikuasai tentara.  

Bashir digantikan dewan militer yang berjanji menyerahkan kekuasaan kepada rakyat sipil dalam dua tahun ke depan. Tapi, proposal tersebut ditolak para pengunjuk rasa. 

Para pemimpin pengunjuk rasa menuduh militer tidak berniat melakukan negosiasi dan tetap mempromosikan kepentingan Bashir. Sementara, pemimpin-pemimpin militer mengatakan mereka harus tetap berkuasa untuk memastikan ketertiban dan keamanan Sudan. 

Belum diketahui bagaimana dewan tertinggi itu akan beroperasi. Tapi, menurut BBC tampaknya dewan itu akan dijalankan warga sipil yang teknokratik dan berada di atas pemerintah.  

Tujuh anggota dewan militer dipimpin Letnan Jendral Abdel Fattah Abdelrahman Burhan. Pada bulan lalu, Burhan mengatakan akan menyerahkan kekuasaan jika sudah berhasil meraih konsensus dengan pemimpin sipil. 

Pada Kamis (2/5) kemarin, pemimpin-pemimpin oposisi menyerahkan dokumen rancangan konstitusi ke dewan militer menjabarkan proposal mereka untuk masa transisi. 

Para pemimpin oposisi itu mengatakan kini mereka menunggu tanggapannya. Dokumen itu menjabarkan tugas dewan transisi yang baru. Tapi tidak memberikan rincian siapa yang akan duduk di dewan itu. 

Uni Afrika merevisi ultimatum 15 April lalu yang meminta pemimpin militer untuk menyerahkan kekuasaan ke rakyat sipil dalam 15 hari. Kini, mereka memiliki waktu 60 hari atau akan mendapatkan sanksi dari blok Afrika itu. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement