REPUBLIKA.CO.ID, HORMUZ -- Teluk Persia adalah perairan yang berbatasan dengan Iran, Irak, Arab Saudi, Bahrain, Qatar, Uni Emirat Arab (UEA), dan Oman. Teluk itu meliputi area seluas sekitar 87 ribu mil persegi dengan kedalaman maksimum 100 meter. Selat Hormuz adalah satu-satunya jalur maritim untuk keluar dari teluk tersebut.
Peran Selat Hormuz tak diragukan lagi sangat penting, tidak hanya untuk keamanan regional, tapi juga ekonomi global. Selat Hormuz telah menjadi rute pelayaran vital yang menghubungkan produsen minyak Timur Tengah ke pasar Asia, Eropa, Amerika Utara, dan sekitarnya.
Selat tersebut memiliki lebar 33 kilometer pada titik tersempitnya. Namun, jalur pelayaran hanya selebar tiga kilometer di kedua arah. Belasan juta barel minyak mentah yang diangkut kapal tanker melintasi Selat Hormuz setiap harinya.
Menurut Otoritas Informasi Energi Amerika Serikat (AS), pada 2016, terdapat 18,5 juta barel minyak per hari yang dibawa melewati Selat Hormuz. Itu sekitar 30 persen dari minyak mentah dan cairan minyak lainnya yang diperdagangkan melalui laut pada 2016.
Menurut perusahaan analitis minyak, Vortexa, pada 2017, sekitar 17,2 juta barel minyak per hari dan kondensat, dikirim melalui Selat Hormuz. Pada paruh pertama 2018, jumlahnya meningkat menjadi 17,4 juta barel minyak per hari. Dengan konsumsi minyak global mencapai sekitar 100 barel per hari saat itu, artinya seperlima pasokan minyak melintasi Selat Hormuz.
Selain minyak, Selat Hormuz juga merupakan rute yang digunakan untuk hampir semua gas alam cair (LNG) yang diproduksi eksportir LNG terbesar di dunia, Qatar. Menurut situs Maritime Executiver, Qatar mengekspor 3,7 miliar kaki kubik LNG per tahun melalui selat itu.
Setiap kapal yang melintasi Selat Hormuz, termasuk kapal perang AS, harus melakukan kontak dengan angkatan laut Iran, baik Angkatan Laut Reguler Iran maupun Angkatan Laut Garda Revolusi Iran. Kapal-kapal masuk melalui perairan Iran. Mereka keluar melewati perairan teritorial Oman.
Karena peran Selat Hormuz cukup vital, tak ayal kerap terjadi gesekan, bahkan konflik di wilayah tersebut. Selama perang Iran-Irak yang berlangsung pada 1980-1988, misalnya, kedua belah pihak berusaha untuk saling mengganggu kegiatan ekspor minyak. Kala itu muncul istilah "Perang Tanker".
Pada awal 2008, AS menuding Iran telah mengancam kapal-kapal perangnya. Tudingan itu dilontarkan setelah kapal-kapal Iran mendekati tiga kapal angkatan laut AS di Selat Hormuz. Situasi pun sempat memanas. Pada Juni 2008, panglima Garda Revolusi Iran saat itu, Mohammad Ali Jafari, mengatakan negaranya akan memberlakukan kontrol pada setiap pengiriman di Selat Hormuz jika diserang.
Pada Desember 2011, mantan wakil presiden Iran Mohammad-Reza Rahimi mengancam akan memutus pasokan minyak dari Selat Hormuz jika aktivitas ekspor minyaknya dikenakan sanksi. Kemudian Januari 2012, Iran mengancam akan memblokir Selat Hormuz sebagai balasan atas sanksi AS dan Eropa yang membidik pendapatan minyaknya. Sanksi itu diterapkan agar Iran menghentikan program nuklirnya.
Pada Juli 2018, Presiden Iran Hassan Rouhani mengisyaratkan bahwa negaranya dapat mengganggu pasokan minyak yang melintasi Selat Hormuz. Itu merupakan respons Rouhani atas seruan AS untuk mengurangi ekspor minyak Iran hingga nol. Pada Mei tahun lalu, AS memang telah hengkang dari kesepakatan nuklir Iran atau Joint Comprehensive Plan of Action.
Iran memang tak sekali mengancam akan menutup Selat Hormuz. Namun, ancaman itu tak pernah dilakukan. Direktur Studi Timur Tengah di Universitas Denver Nader Hashimi mengatakan pendekatan garis keras Presiden AS Donald Trump terhadap Iran telah memaksa negara itu membuat ancaman balasan yang drastis.
"Apa yang kita lihat sekarang adalah hasil dari sanksi AS secara sepihak. AS telah mengejar kebijakan garis keras ini dan kepemimpinan Iran mulai panik," kata Hashimi merujuk pada sanksi ekonomi yang diberlakukan AS terhadap Iran pascamundur dari JCPOA, dikutip laman Aljazirah.
Ketegangan di Selat Hormuz kembali terjadi setelah empat kapal tanker, dua di antaranya milik Saudi, disabotase pekan lalu. Peristiwa itu terjadi saat AS sedang memaksa Iran untuk merundingkan program nuklirnya.
Washington telah mengerahkan kapal induk dan pesawat bomber ke Teluk Persia. Trump tak menjelaskan apa tujuanny mengerahkan armada militer ke sana. Dia hanya menyebut bahwa ada ancaman serius di wilayah itu. Langkah Trump diduga merupakan upaya untuk menekan Iran.
Beberapa pejabat di pemerintahan AS telah menyebut bahwa Iran berada di belakang aksi sabotase empat kapal tanker di Selat Hormuz. Sebaliknya, Pemerintah Iran menuding pejabat garis keras di pemerintahan AS yang sengaja mengatur peristiwa itu untuk memantik ketegangan.
Namun, Rouhani telah menegaskan tak akan ada peperangan, termasuk dengan AS. "Tidak akan ada perang, bangsa Iran telah memilih jalur perlawanan," ujarnya.
Ketegangan terbaru yang terjadi di Selat Hormuz telah memicu kekhawatiran dari pihak-pihak yang terlibat dalam perdagangan minyak. Muncul pula pertanyaan apakah Iran akan merepons tekanan terhadapnya dengan menutup Selat Hormuz.
Namun, Synergia Foundation menilai, tekanan yang diberikan AS terhadap Iran sebenarnya bertentangan dengan kepentingan ekonomi dan militernya. Ia yakin Selat Hormuz tak dapat ditutup dengan mudah karena kemungkinan oposisi Arab-Emirat.
Synergia Foundation menilai ketika Iran telah membuat kesepakatan dengan ekonomi Asia dan Rusia untuk mengekspor minyak menggunakan mata uang lokal di atas Petrodolar, pernyataan AS di wilayah itu akan melemah. Harga minyak diperkirakan akan meningkat tajam jika terdapat ancaman terhadap Selat Hormuz.