REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintahan yang secara umum diatur untuk menghadapi peperangan daripada menyejahterakan rakyat, biasanya menguasai daerah yang luas dan tak terjangkau serta wilayahnya dihuni populasi masyarakat yang heterogen.
Ini menjadi lahan subur tumbuhnya bibit-bibit kehancuran negara itu. Inilah yang terjadi pada Ottoman. Sistem millet yang membagi kelompok masyarakat ber dasarkan agama kemudian hari berkembang menjadi nasionalisme yang mulai tumbuh pada abad ke-19 M. Masyarakat Muslim tidak lagi bersatu karena mereka satu agama, tapi karena faktor suku bangsa.
Pascakegagalan serangan kedua Ottoman ke Wina pada 1683, secara berturut-turut ekspansi Ottoman ke Eropa tidak mengalami kemajuan yang berarti. Kekuatan internal yang semakin lemah bertambah buruk dengan munculnya gangguan luar. Prancis, Inggris, Austria, dan Rusia mulai melebarkan pengaruh di wilayah kekuasaan Ottoman termasuk ide-ide nasionalisme yang berakar dari sistem millet tersebut.
Selama lebih dari 500 tahun, sistem millet telah membagi populasi warga Ottoman. Millet akhirnya mengkristalkan proses nasionalisasi melalui sentimen agama dan etnis. Di Yunani, misalnya, rasa kebangsaan Yunani menjadi sebangun dengan warga penghuni millet Kristen Ortodoks di wila yah Ottoman yang menimbulkan persepsi bahwa penganut Kristen Ortodoks di Bulgaria, Makedonia, Albania adalah sama seperti orang Yunani.
Afrika Utara merupakan wilayah yang pertama lepas dari Ottoman, dimulai dari Aljazair yang dikuasai Prancis pada 1830. Di Turki muncul Touran isme yang menghi dupkan semangat kebangsaan Turki, gerakan berdasar etnisitas yang akhirnya menular pada kelompok Muslim lain dari etnis Arab, Kurdi, Albania, dan Bosnia. Secara bertahap nasionalisme menjadi semangat perjuangan untuk berlepas diri dari kesultanan yang pernah menguasai tiga benua itu.