Sabtu 25 May 2019 04:39 WIB

IHW Uji Materil PP JPH ke MA

PP ini dinilai menghambat pertumbuhan industri halal dan mereduksi kewenangan MUI.

Rep: Ali Yusuf / Red: Andi Nur Aminah
Indonesia Halal Watch (IHW) mengajukan judicial review PP Jaminan Produk Halal ke Mahkamah Agung, Kamis (23/5)
Foto: Dok IHW
Indonesia Halal Watch (IHW) mengajukan judicial review PP Jaminan Produk Halal ke Mahkamah Agung, Kamis (23/5)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Halal Watch (IHW) mengajukan uji materil Peraturan Pemerintah Nomor 31/2019 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 33/2014 Tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH). Uji materil atau judicial review (JR) telah diajukan ke Mahkamah Agung (MA) pada Kamis(23/5).

"JR atau uji materi atas PP No 31 th 2019 telah diterima dan diregister oleh Mahkamah Agung," kata Direktur Eksekutif IHWI khsan Abdullah saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (24/5). Iksan mengatakan, Peraturan Pemerintah Nomor 31/2019 dapat menghambat pertumbuhan Industri halal dan mereduksi kewenangan Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Baca Juga

Untuk itu IHW sebagai wadah para aktivis halal, yang concern melakukan edukasi dan sosialisasi mengenai UU 33/ 2014 tentang JPH dan dakwah mengenai pentingnya produk halal di Indonesia, Kamis (23/5) mengajukan uji materil. JR yang dilakukan IHW ke MA terhadap PP 31/2019 tentang Peraturan Pelaksanaan Nomor 33/2014 UU JPH terhadap Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal dan telah terdaftar dengan nomor registrasi perkara 49/DJMT.5/HUM/5/2019.

Menurut Ikhsan ada lima alasan penting kenapa IHW melakukan JR terhadap PP No 31 Tahun 2019 (PP) yang barus diundangkan pada tanggal 3 Mei 2019 dan dimuat dalam Lembaran Negara Nomor 88 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 6344. Pertama, PP ini berpotensi membebani masyarakat khususnya dunia usaha.

Mandatory sertifikasi halal berpotensi membebani UKM, oleh karena itu seharusnya negara menyubsidi sertifikasi halal bagi UKM. Tidak dibebankan kepada pihak-pihak lain sebagaimana tersirat dalam Pasal 62 dan Pasal 63 PP JPH. Alasan kedua, PP ini mereduksi atau mendelusi kewenangan MUI sebagai stakeholder yang diamanatkan UU JPH yakni sebagai lembaga yang diberikan kewenangan untuk menetapkan kehalalan produk.

Alasan ketiga, karena semangatnya mereduksi atau mendelusi kewenangan MUI, tercermin sebagaimana yang tersurat di dalam Pasal 22 ayat (2), yaitu: Pasal 22 ayat (2): Pendidikan dan pelatihan sertifkasi auditor halal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh BPJPH dan dapat diselenggarakan oleh lembaga pendidikan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan. "Padahal di dalam UU JPH Pasal 14 ayat (2) huruf f telah jelas di atur bahwa Pasal 14 ayat (2) huruf f: Pengangkatan Auditor Halal oleh LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan memperoleh sertifikat dari MUI.

Alasan keempat, ketentuan mengenai Kerja Sama Internasional sebagaimana yang di atur pada Pasal 25 pada PP ini tidak melibatkan kewenangan MUI yang berkaitan dengan pengakuan sertifikasi halal yang dikeluarkan oleh lembaga sertifikasi halal luar negeri.

"Maka hal ini berpotensi memudahkan masuknya produk impor dari luar negeri," katanya. Selain itu, pasar Indonesia akan dibanjiri oleh produk-produk impor, karena pengakuan sertifikasi produk asing tersebut tidak berdasarkan standard kehalalan MUI. Padahal kata Ikhsan di dalam UU JPH telah jelas diatur bahwa menetapkan kehalalan produk itu adalah kewenangan MUI.

"Peran dan fungsi fatwa MUI di antaranya adalah mencegah masuknya barang-barang asing yang tidak jelas kehalalannya," katanya.

Alasan ke lima, adalah, jiwa dari PP ini pada intinya mengambil kewenangan stakeholder yang lain dan bukan membangun semangat kerja sama. Karena itu dinilai ini akan akan berdampak buruk bagi pertumbuhan produk halal dan industri halal di Indonesia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement