Ahad 26 May 2019 19:22 WIB

Pertumbuhan Ekonomi Andalkan Konsumsi Pengaruhi Daya Saing

Pemerintah harus melakukan reformasi struktural untuk tingkatkan pertumbuhan ekonomi.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Asumsi dasar makro RAPBN
Foto: Republika
Asumsi dasar makro RAPBN

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ekonom Institute for Development of Economics and Finance Bhima Yudhistira menilai, ketergantungan pertumbuhan ekonomi Indonesia terhadap konsumsi mempengaruhi kualitas daya saing dan produktivitas perekonomian suatu negara. Di sisi lain, apabila porsi sektor konsumsi dominan tanpa diimbangi kenaikan investasi dan sektor manufaktur, maka kebutuhan konsumsi akan ditutup melalui impor. Hal ini turut berdampak pada neraca dagang yang defisit.

Menurut Bhima, memenuhi kebutuhan melalui impor sudah terlihat pada 2018. Saat itu, konsumsi tumbuh 5,05 persen, namun pertumbuhan industri manufaktur sebesar 4,27 persen atau stagnan shingga membuat impor barang konsumsi naik 22 persen.

Baca Juga

"Lonjakan impor ini berpengaruh terhadap serapan tenaga kerja dan pendapatan masyarakat secara umum," ujarnya ketika dihubungi Republika.co.id, Ahad (26/5).

Bhima menyebutkan, negara seperti Korea Selatan bisa jadi contoh transformasi struktural. Saat ini, porsi konsumsi rumah tangga Negeri Ginseng tersebut mencapai 49 persen, belanja pemerintah 15 persen, investasi 30 persen dan ekspor 43 persen. Meski konsumsi masih dominan, tingkat investasi dan ekspor mereka terus melaju tumbuh.

Dulu, pada tahun 1960, posisi Indonesia dan Korea Selatan berada di low income country dengan tumpuan masih di konsumsi yang dominan. Akibat konsistensi mendorong sektor produktif, Bhima mengatakan, strukturnya bergeser dan Korea Selatan menjadi negara maju. “Sementara, kita masih middle income,” katanya.

Bhima menjelaskan, ada beberapa kunci transformasi struktural. Salah satunya dengan memperbaiki sektor manufaktur sebelum perkuat sektor jasa seperti e-commerce dan financial technology (fintech).

Selain itu, mendorong porsi kewirausahaan juga harus terus dilakukan. Sebab, porsi wirausaha Indonesia masih 3,1 persen dari total populasi penduduk, sedangkan negara tetangga Malaysia sudah lima persen, dan Singapura tujuh persen.

"Makin besar wirausahawan, makin tinggi porsi sektor produktifnya," ucap Bhima.

Di sisi lain, pemerintah perlu mendorong kemudahan ekspor dengan simplifikasi prosedur, dan insentif bea keluar dan pajak yang rendah. Edukasi konsumen untuk memakai produk dalam negeri juga patut dilakukan. Saat ini, Cina mulai mengejar ketertinggalan dengan mendorong pemakaian teknologi lokal seperti Huawei secara masif selama dua tahun terakhir. Konsumen Jepang dan Korea Selatan juga sangat loyal terhadap produk lokalnya.

Menanamkan cinta produk dalam negeri dinilai Bhima dapat membantu negara dalam mengurangi konsumsi dari impor. Sebaliknya, pemerintah terus mendorong industri dan UMKM lokal untuk terus berkembang dan memiliki daya saing tinggi.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement